PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)
A. Prinsip Dasar PCR
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA selektif in vitro yang meniru fenomena replikasi DNA in vivo. Komponen reaksi yang diperlukan dalam teknik ini adalah untai tunggal DNA sebagai cetakan, primer (sekuens oligonukleotida yang mengkomplementeri akhiran sekuens cetakan DNA yang sudah ditentukan), dNTPs (deoxynucleotide triphosphates), dan enzim polimerase DNA.
1. DNA
Untuk aplikasi PCR, kemurnian DNA mempengaruhi hasil. DNA yang tidak murni sering menyebabkan masalah reproduksibilitas. Untuk tujuan diagnosis DNA (atau RNA) harus dimurnikan dahulu sebelum diproses dengan PCR. Dalam proses isolasi tersebut DNA yang dihasilkan sebaiknya bebas nuklease, endo-atau eksoprotease, dan DNA-binding protein. Khusus untuk RNA, karena RNA tidak dapat digunakan sebagai cetakan langsung untuk PCR, maka diperlukan tahapan transkripsi balik untuk membuat mRNA menjadi DNA komplementernya (cDNA) yang kemudian dapat digunakan sebagai cetakan untuk PCR. Teknik ini disebut dengan RT-PCR (reverse transcription-PCR atau PCR transkripsi balik).
2. Primer
Primer PCR adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan PCR. Sangat penting untuk mendesain sepasang primer yang “baik-efektif-efisien”. Ada beberapa program untuk mendesain primer PCR yang dapat digunakan secara gratis, seperti MEDUSA, Primer3, PrimerQuest, dan lain-lain. Penggunaan program semacam ini sangat disarankan untuk mendesain protokol PCR baru. Meskipun begitu, kita juga dapat mendesain primer PCR secara manual berbekal beberapa aturan dasar. Kelebihan dari desain primer secara manual adalah kita dapat mendesain primer PCR yang efektif dengan karakteristik yang mungkin "tidak diijinkan" oleh program yang ada.
Aturan dasar tersebut adalah sebagai berikut:
- Panjang primer sebaiknya antara 18-30 nukleotida (kecuali untuk tujuan tertentu).
- Sekuens dalam primer sebaiknya tidak mengandung daerah komplementari internal.
- Sebaiknya dalam sepasang primer tidak ada daerah yang saling berkomplementari.
- Dalam primer tidak ada struktur sekunder.
- Memiliki kandungan GC (guanosine dan cytosine) 50%. Hindari ketidakseimbangan distribusi daerah kaya G/C dan A/T.
- Untuk PCR diagnostik pilih primer PCR yang mengamplifikasi daerah yang stabil secara genetik.
- Perbedaan suhu anealing dalam suatu pasangan primer jangan lebih dari 5 0C.
PCR dapat digunakan untuk berbagai macam aplikasi. Aplikasi yang berbasis PCR biasanya membutuhkan primer PCR yang telah dimodifikasi. Ada berbagai macam modifikasi primer PCR yang mungkin kita lakukan, namun pada prinsipnya adalah:
a. Modifikasi 5'end
- Penambahan tempat restriksi (sekuens yang dapat dikenali oleh enzim restriksi endonuklease)
- Penambahan sekuens pengatur
- Penambahan Promotor dan RBS (ribosomal binding sites)
- Penambahan label
- Penambahan GC-clamp
b. Degenerate primer
- Site directed mutagenesis
- DOP (degenerate oligonucleotide primer) PCR
- Translasi sekuens asam amino ke dalam sekuens genomik
- Primer universal
- Primer kompetitor
c. Miscellaneous
- Primer sekuens berulang
- Primer concatemeric
- Primer PCR multipleks
- Megaprimer
- Molecular beacon
3. dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates)
dNTPS merupakan blok pembangun molekul asam nukleat yang terdiri dari deoxyadenosine triphosphate (dATP), deoxythymidine triphosphate (dTTP), deoxycytosine triphosphate (dCTP), dan deoxyguanosine triphosphate (dGTP). Dalam beberapa aplikasi dan protokol PCR, salah satu dari empat dNTP tersebut dapat diganti elemen analog. Modifikasi ini berguna untuk aplikasi yang berbasis paska-PCR.
4. Polimerase DNA
Ketika terjadi sintesis DNA, enzim polimerase DNA akan melakukan seleksi nukleotida yang tepat untuk ditambahkan ke primer untuk melanjutkan rantai DNA sesuai dengan aturan pasangan basa Watson-Crick (A:T dan G:C). Polimerase DNA selalu mengkatalis sintesis DNA dalam orientasi 5' ke 3'. Beberapa polimerase DNA juga memiliki aktivitas eksonuklease atau yang sering disebut dengan aktivitas "proofreading" yang akan memeriksa basa yang telah ditambahkan untuk menumbuhkan untai DNA. Ketika terjadi penambahan nukleotida yang tidak tepat aktivitas proofreading tersebut akan membuang basa yang tidak tepat tersebut. Mekanisme koreksi ini akan meningkatkan akurasi atau atau yang disebut juga dengan fidelitas. Ketika membandingkan atau memilih polimerase DNA, ada dua hal yang penting dalam PCR yaitu fidelitasnya dan efisiensi sintesisnya.
Macam-macam polymerase lainnya yang saat ini ada di pasaran: AmpliTaq, Stoffel, Ampliterm, Pyra, TTH 94, Tfl, Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, UL Tma, dan Thermal Ace. Dari enzim polimerase tersebut yang memiliki aktivitas 5’-3’ proofreading adalah: AmpliTaq, TTH 94, dan Tfl. Yang memiliki aktivitas 3’-5’ proofreading adalah: Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, dan Thermal Ace.
5. Bufer reaksi PCR
Bufer reaksi PCR biasanya mengandung Mg2+, kation monovalen, dan beberapa co-solvent. Co-solvent membantu menstabilisasi enzim polimerase DNA, mempengaruhi kerja enzim, dan atau DNA melting temperature (Tm). Ion Monovalen seperti Na+, K+ dan NH4+ menstimulasi aktivitas polimerase DNA dan melindungi muatan negatif gugus fosfat DNA, sehingga melemahkan kekuatan elektronik yang saling menolak antara primer dan DNA target. Ion Mg2+ berperan sebagai ko-faktor aktivitas polimerase DNA thermostabil. Secara umum konsentrasi ion Mg2+ yang sering digunakan adalah 2,5 mM (antara 0,5-5 mM). Yang perlu diingat, konsentrasi ion magnesium yang berlebihan menghambat reaksi amplifikasi PCR.
B. Reaksi PCR
Pada prinsipnya, reaksi PCR (protokol PCR konvensional) membutuhkan tiga tahap:
1. Denaturasi (Melting)
Prinsipnya adalah memisahkan DNA untai ganda menjadi komponen untai tunggal, sehingga memungkinkan terjadinya hibridisasi primer PCR untai tunggal pada sekuens targetnya (jika ada).
2. Annealing (Hibridisasi) Primer PCR
Pada tahap ini terjadi hibridisasi primer PCR pada sekuens targetnya. Secara umum suhu annealing PCR biasanya berasal dari suhu annealing primer hasil kalkulasi matematis dikurangi 5 derajat Celcius, dengan kata lain primer dapat berikatan dengan target komplementarinya dan jika sudah terhibridisasi tidak mudah mengalami disosiasi. Waktu yang dibutuhkan biasanya 15-60 detik.
3. Elongasi (ekstensi rantai DNA)
Tahap ini penting untuk mengamplifikasi daerah yang sudah dihibridisasi oleh primer, dari 5'end ke 3'end. Sebagian besar enzym polimerase membutuhkan suhu elongasi 72 0C. Secara umum suhu elongasi sebaiknya 5 0C di bawah suhu melting seluruh amplimer. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan langkah elongasi adalah waktu inkubasi, yaitu sebaiknya cukup panjang bagi polimerase DNA mengamplifikasi sekuens target secara komplit tetapi cukup pendek untuk mencegah amplifikasi produk non-spesifik yang lebih panjang daripada sekuens target.
Secara detail, protokol suatu PCR tergantung dari tujuan, enzim polimerase, primer, bahkan kit yang digunakan.
Berdasarkan proses kinetik yang terjadi, reaksi PCR dapat dibagi menjadi 3 fase kinetik:
1. Fase Awal
2. Fase Eksponensial
3. Fase Plateau
C. Analisis dan Visualisasi Produk PCR
Analisis produk PCR dapat dilakukan secara ex-vitro (dilakukan di luar tabung PCR, misalnya: elektroforesis gel, hibridisasi DNA) maupun in-vitro (dalam tabung PCR dan selama reaksi PCR berlangsung). Kedua teknik tersebut membutuhkan produk PCR yang telah di-"visualisasi"-kan sebelum dianalisis.
Visualisasi produk amplifikasi PCR:
1. mengecat DNA untai ganda dengan bahan pewarna kimia atau ion perak yang berinterkalasi di antara untai ganda DNA
2. labelisasi primer PCR atau nukleotida dNTP dengan bahan pewarna fluoresen (fluorophore) atau hapten sebelum amplifikasi PCR
D. Positif Palsu dan Negatif Palsu
1. Positif Palsu
Penyebab tersering hasil PCR yang positif palsu:
- Primer yang digunakan tidak cukup selektif.
- Suhu annealing primer terlalu rendah.
- Terlalu banyak siklus PCR.
2. Negatif Palsu
Hasil negatif palsu terjadi jika kontrol positif atau sampel yang telah diketahui mengandung molekul target PCR spesifik ternyata memberikan hasil pemeriksaan yang negatif.
Penyebab tersering hasil PCR yang negative palsud:
- Jumlah DNA target dalam sampel di bawah ambang batas deteksi.
- Terdapat faktor yang mendenaturasi atau menghambat kerja Taq polimerase.
- pH dan atau sistem bufer yang tidak tepat.
- Prosedur deteksi amplimer yang kurang sensitif.
- Problem pada elektroforesis gel.
- Mutasi pada cetakan atau oligomer.
- Depurinasi.
- Gangguan pada proses denaturasi DNA atau hibridisasi primer.
- Problem pada reaksi thermocycling.
- Kehilangan asam nukleat pada proses ekstraksi asam nukleat.
- Asam nukleat tidak terkestrak.
- Struktur sekunder pada asam nukleat target.
E. Aplikasi Medis PCR
Aplikasi medis PCR utama adalah deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit. Contohnya, antara lain:
- Deteksi polimorfisme: RFLP (restriction fragment length polymorphisms), VNTR (variable number of tandem repeat sequences), dan STR (short tandem repeats)
- Skreening/deteksi mutasi berbasis PCR
- PCR kuantitatif: dengan menggunakan kompetitor/mimic (internal exogenous standards), dengan housekeeping gene (internal endogenous standard), atau dengan Real-Time PCR.
Variasi dan adaptasi protokol PCR konvensional:
- Labelisasi amplimer PCR untuk visualisasi produk PCR, pembuatan probe DNA dan kloning.
- PCR dua langkah (denaturasi dan kombinasi annealing + ekstensi/amplifikasi).
- PCR booster (untuk menghambat akumulasi amplimer non spesifik dan komplek primer dimer).
- PCR Hot-Start dan Time-Release (untuk mengurangi pembentukan amplimer non spesifik).
- Inverse PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang belum diketahui sekuensnya yang terletak tepat di atas atau di bawah daerah yang sudah diketahui sekuensnya).
- PCR asimetrik (salah satu primer PCR mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan primer pasangannya sehingga menghasilkan konsentrasi tinggi molekul DNA untai tunggal).
- Sekuensing DNA yang dimediasi PCR.
- PCR Touchdown dan Touch-Up (untuk sampel DNA komplek yang hanya mengandung sedikit molekul cetakan, PCR multiplek, amplifikasi selektif daerah target dimana satu atau lebih sekuens primer sangat mirip dengan sekuens lainnya yang terdapat dalam cetakan DNA yang digunakan, untuk protokol umum PCR dengan banyak pasangan primer PCR).
- PCR multiplek (menggunakan beberapa pasangan primer dalam campuran PCR yang sama untuk mengamplifikasi beberapa target yang berbeda pada waktu yang sama).
- PCR degenerasi (menggunakan campuran primer PCR yang didesain untuk mengamplifikasi sekuens target DNA genetik yang sama dimana diharapkan ada sejumlah kecil perubahan nukleotida antara isolat atau individual yang berbeda)/
- PCR repeat dan inter-repeat. PCR repeat (untuk menentukan panjang daerah genetik yang mengandung sekuens pengulangan tandem. PCR inter-repeat dilakukan dengan teknik RAPD (random amplification of polymorphic DNA) atau arbitrary primed (AP-PCR) untuk mengetahui keberadaan daerah pengulangan sekuens genetik).
- AFLP-PCR (amplification fragment length polymorphism) untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda berdasarkan keberadaan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi).
- BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning) untuk mendeteksi mutasi T/A atau A/T.
- DD-RT-PCR (Differential Display RT-PCR) untuk memvisualisasikan perbedaan ekspresi gen pada sel-sel yang berbeda tipenya atau sel-sel yang sama tipenya tapi mendapatkan perlakuan yang berbeda.
- Protein Truncation Test (PTT), untuk mendeteksi adanya mutasi pada DNA genomik yang menginduksi adanya stop codon pada mRNA-nya.
- PCR untuk mendeteksi adanya metilasi DNA.
- Breakpoint PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang mengalami translokasi).
- PCR mutagenesis (untuk mengintroduksi mutasi pada sekuens DNA yang telah diketahui).
- PCR untuk kloning.
- SAGE (Serial Analysis of Gene Expression)
- PCR ELISA
- Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation melalui priming oligonukleotida kompetitif.
- PCR in situ
F. Pencegahan Terhadap Kontaminasi
PCR merupakan metode deteksi yang sangat sensitif. Untuk mendapatkan hasil yang akurat dan reproduksibel, prinsip Good Laboratory Practice perlu dijalankan oleh mereka yang bergelut dengan teknik ini.
Pecegahan terhadap kontaminasi dimulai dari masalah penataan ruang dan peralatan. Masing-masing alat sebaiknya diletakkan dalam ruangan yang terpisah sesuai dengan peruntukkannya. Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya kontaminasi, semua langkah yang berhubungan dengan persiapan PCR (pengolahan spesimen, persiapan reaksi PCR, dan sintesis primer) dilakukan di ruangan yang bertekanan positif untuk mencegah masuknya kontaminan dan aerosol. Untuk tahapan PCR (thermocycling) dan elektroforesis gel untuk analisis produk PCR sebaiknya dilakukan di ruangan yang bertekanan negatif untuk mencegah keluarnya aerosol yang terkontaminasi produk PCR ke luar ruangan.
Urutan perjalanan bahan dan personel yang melakukan teknik PCR harus dalam urutan yang semestinya dan tidak berulang. Sebagai contoh, setelah mempersiapkan reaksi PCR dilanjutkan dengan langkah memasukkan sampel, lalu melakukan PCR, dan terakhir elektroforesis. Spesimen klinis dan produk PCR merupakan sumber kontaminasi utama sehingga TIDAK BOLEH dibawa kembali ke tempat reaksi PCR, begitu juga sebaliknya. Idealnya, mereka yang bekerja di ruangan untuk elektroforesis tidak boleh bekerja di ruangan untuk persiapan PCR (isolasi spesimen, pembuatan reaksi PCR) dalam hari yang sama karena mereka beresiko membawa kontaminan produk PCR pada baju-tangan-rambut, dll. Namun, untuk laboratorium yang sibuk, rekomendasi tersebut mungkin sulit diterapkan. Oleh karena itu, untuk membantu langkah pencegahan, setiap ruangan yang digunakan untuk setiap tahap PCR sebaiknya memiliki pakaian dan sarung tangan tersendiri. Pakaian dan sarung tangan tersebut harus dipakai ketika bekerja di ruangan tersebut dan harus dilepas sebelum berpindah ke ruangan yang lain. Pakaian laboratorium tersebut juga sebaiknya dilabel yang jelas, dicuci bersih dan di-autoclave secara teratur, dan penggunaannya secara ketat dibatasi sesuai dengan ruangan dan personel yang bersangkutan.
Sebagai langkah pencegahan kontaminasi, semua tabung yang mengandung spesimen klinis, reaksi PCR, primer, dan asam nukleat disentrifugasi dahulu sebelum dibuka untuk mengurangi kontaminasi aerosol ketika membuka tutupnya. Semua bahan yang digunakan (tabung mikrosentrifus, tip, bufer, larutan, dll) sebaiknya dalam keadaan steril (disterilisasi dahulu sebelum dipakai). Idealnya permukaan meja laboratorium dibersihkan dengan 1 N HCl secara teratur atau menggunakan sinar-uv atau radiasi sinar gama selama satu malam untuk menghancurkan aerosol kontaminan yang dihasilkan selama bekerja seharian.
Sumber kontaminasi terpenting pada laboratorium PCR adalah aerosol. Sayangnya, hampir semua tahapan dalam teknik biomol dapat menghasilkan produk aerosol. Aerosol ini dapat bertahan di udara ruangan selama beberapa jam dan dapat menyebar apabila ada aliran udara yang masuk/keluar seperti ketika pintu laboratorium dibuka/ditutup. Aerosol ini dapat menempel pada meja, baju, tangan, bahkan pada reaksi PCR yang sedang dibuat. Kontaminan yang terdapat pada tangan/baju/rambut juga dapat mengkontaminasi reaksi PCR “steril”. Sumber kontaminan penting lainnya adalah debu. Debu yang terkontaminasi plasmid, DNA, atau produk PCR ini dapat menyebar dengan mudah apabila Good Laboratory Practice tidak dijalankan dengan baik (misalnya, pakaian dan atau sarung tangan yang digunakan ketika melakukan elektroforesis produk PCR dibawa ke ruangan lain).
Pembagian Ruangan Laboratorium PCR:
1. Ruangan “Bersih”
Pembuatan reaksi PCR dilakukan di ruangan “bersih”. Di tempat ini hanya terdapat bufer dan enzim yang dibutuhkan untuk membuat larutan reaksi PCR dan primer beserta bahan dan alat penunjangnya (tips, pipetman, dll). Spesimen, asam nukleat, produk PCR, plasmid dan semua alat/bahan yang berkaitan dengan yang disebutkan tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam ruangan ini. Begitu pula sebaliknya, semua alat/bahan di dalam ruangan bersih tidak boleh dibawa keluar.
2. Ruangan penerimaan sampel dan atau isolasi asam nukleat
Ruangan ini adalah ruangan bersih yang kedua, dimana plasmid dan produk PCR tidak boleh berada di dalam ruangan ini.
3. Ruangan PCR
Ruangan ini adalah tempat alat PCR berada dan sebaiknya tidak ada manipulasi apapun terhadap sampel PCR di ruangan ini.
4. Ruangan paska-PCR
Di ruangan ini dilakukan analisis produk PCR termasuk diantaranya elektroforesis gel. Ruangan ini sangat beresiko tinggi terjadi kontaminasi aerosol dan atau debu.
BAB III
ELEKTROFORESIS GEL
A. Pendahuluan
Elektroforesis adalah perpindahan molekul yang bermuatan sebagai respon terhadap medan listrik. Angka perpindahan tergantung pada kekuatan medan listrik, muatan listrik, ukuran dan bentuk molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium yang digunakan oleh molekul tersebut untuk berpindah. Elektroforesis merupakan alat analisis yang simpel, cepat, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi. Elektroforesis digunakan untuk mempelajari properti spesies bermuatan tunggal dan juga untuk teknik separasi. Elektroforesis sering digunakan untuk mengkarakterisasi massa molekular polinukleotida dan polipeptida, seperti kemurnian, heterogenisitas/adanya degradasi, dan komposisi subunit polinukleotida dan polipeptida.
Ada beberapa variasi teknik elektroforesis. Masing-masing menghasilkan informasi yang berbeda-beda sehingga mempunyai kegunaan yang berbeda-beda pula. Secara umum, sampel akan dijalankan di suatu matriks/medium. Medium yang sering digunakan adalah agarose dan poliakrilamid, yang merupakan gel berpori, dan dalam kondisi tertentu dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya.
B. Elektroforesis Gel DNA
Material elektroforesis gel yang sering digunakan untuk DNA adalah agarose dan akrilamid. Elektroforesis menggunakan gel agarose atau poliakrilamid merupakan metode standart untuk memisahkan, mengidentifikasi dan memurnikan fragmen DNA. Metode paling mudah dan paling sering digunakan adalah dengan gel agarose horisontal. Teknik ini sangat sederhana, tidak memakan banyak waktu, dan dapat menghasilkan fragmen DNA yang tidak dapat dipisahkan secara adekuat dengan prosedur lain seperti density gradient centrifugation. Gel agarose dapat digunakan untuk memisahkan molekul yang berukuran lebih dari 100 bp (base pairs). Untuk resolusi yang lebih tinggi atau untuk separasi yang lebih efektif dari molekul DNA yang lebih pendek sebaiknya menggunakan gel poliakrilamid.
Gel akrilamid sering dimanfaatkan untuk memisahkan fragmen DNA kecil, biasanya berukuran kurang dari 100 bp. Gel ini biasanya menggunakan akrilamid berkonsentrasi rendah (<6%) dan mengandung agen denaturing non-ionik (urea 6M). Agen denaturing ini berperan untuk mencegah pembentukan formasi struktur sekunder oligonukleotida sehingga memungkinkan penentuan massa molekular yang akurat.
DNA merupakan molekul yang bersifat asam, sehingga akan bergerak dari kutub negatif (katoda) ke kutub positif (anoda). Pergerakan DNA di dalam gel tergantung pada berat/ukuran molekul DNA, bentuk konformasi DNA, konsentrasi agarosa, tegangan listrik yang digunakan dan kekuatan bufer elektroforesis. Jenis bufer yang digunakan untuk elektroforesis juga mempengaruhi resolusi pemisahan DNA. Bufer TAE (Tris-Acetate-EDTA) akan menghasilkan resolusi yang lebih baik untuk fragmen DNA yang berukuran lebih dari 4 kb, sedangkan bufer TBE (Tris-Borate-EDTA) akan menghasilkan resolusi yang lebih baik untuk fragmen DNA berukuran 0,1–3 kb.
C. Elektroforesis Gel Protein
Elektroforesis gel untuk protein hampir selalu menggunakan poliakrilamid. Larutan akrilamid yang digunakan biasanya mengandung dua komponen, yaitu akrilamid dan bis-akrilamid. Bis-akrilamid merupakan komponen cross-linking esensial dalam polimer akrilamid. Konsentrasi akrilamid total dalam gel mempengaruhi migrasi protein. Untuk memisahkan protein, metode yang sering digunakan adalah Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Isoelectric Focusing (IEF). SDS-PAGE memisahkan protein berdasarkan berat molekulnya dan IEF memisahkan molekul protein berdasarkan poin isoelektriknya.
Gel protein biasanya dibuat dalam terdenaturasi karena keberadaan SDS (sodium dodecyl sulfate). Keberadaan SDS menyebabkan protein mengalami denaturasi oleh panas. SDS berikatan dengan protein melalui interaksi hidrofobik secara proporsional sesuai dengan ukuran protein. Karena adanya muatan alami dari molekul SDS, maka protein bermigrasi dalam gel dengan kecepatan yang proporsional dengan molekular massanya.
D. Visualisasi DNA dan Protein dalam Gel
Cara paling mudah untuk memvisualisasi DNA dalam elektroforesis gel adalah dengan pengecatan menggunakan fluorescent intercalating dye seperti ethidium bromid (EtBr). EtBr akan mengikat DNA dengan cara menginsersi diantara stacked base-pairs, yang disebut dengan interkalasi, dan akan menghasilkan warna orange/merah fluoresen ketika diiluminasi dengan cahaya UV. EtBr biasanya disiapkan dalam larutan stok 10mg/ml dalam air, disimpan dalam suhu kamar dan terlindung dari sinar cahaya. EtBr dapat dituangkan dalam gel ketika proses pembuatan dan running bufer, atau sebaliknya, gel direndam dalam larutan EtBr (0,5 mg/ml) setelah elektroforesis selama 30 menit. Warna divisualisasikan dengan iradiasi UV (misalnya menggunakan transiluminator) dan difoto dengan film polaroid. Jika diperlukan, DNA dalam gel dapat diisolasi dan digunakan untuk tujuan kloning. Yang perlu diperhatikan adalah karena EtBR merupakan agen interkalasi, maka EtBr merupakan mutagen yang sangat kuat!!! Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan SYBRGreen atau Gelstar, yang mempunyai sensitivitas yang sama, namun lebih aman untuk digunakan. Untuk pengecatan protein yang sering dipakai adalah Coomassie Brilliant Blue atau sering juga menggunakan teknik “Pengecatan Perak”.
Elektroforesis gel untuk DNA dan protein menggunakan standar berat molekular untuk mengkalibrasi ukuran sampel yang dianalisis. Standar berat molekular DNA mengandung campuran fragmen DNA yang sudah diketahui massa molekularnya. Sedangkan marker untuk berat molekular protein biasanya terdiri dari campuran protein murni yang sudah diketahui massa molekularnya.
Elektroforesis Gel Agarose
Pembuatan Gel Agarose
Alat yang dibutuhkan:
- Submarine gel apparatus, termasuk di antaranya glass plate, comb, dan surround.
- Ethidium bromide 10 mg/mL atau SYBR Green.
- Agarose dalam TBE atau TAE.
- gel-loading buffer atau gel-loading dye.
Prosedur:
1. Untuk membuat 100 mL larutan agarose 0,8%, timbang 0,8gram agarose ke dalam glass beaker atau flask dan tambahkan 100 mL 1xTBE atau TAE.
2. Cairkan agarose dengan menggunakan microwave atau autoclave.
3. Mix dengan magnetic stirrer dalam keadaan panas, dinginkan ke 55 0C sebelum dituangkan.
4. Campur dengan EtBr sampai mencapai konsentrasi 0.5 mg/ml dengan magnetic stirrer.
5. Tuangkan ke dalam gel tray yang sudah dipasangi comb.
6. Tuangkan gel ke dalam tray, biarkan dalam suhu kamar selama 15-20 menit sampai menjadi solid.
7. Ambil comb secara hati-hati, letakkan gel ke dalam electroforesis chamber, dan genangi (sampai cukup tergenang) dengan bufer elektroforesis (gunakan bufer yang sama dengan yang digunakan untuk membuat agarose).
8. Siapkan 1 ml 6x gel loading dye untuk setiap 5 ml larutan DNA(atau RNA), campur dengan baik menggunakan pipet. Tuangkan campuran tersebut ke dalam sumur.
9. Elektroforesis 50-150 Volt, sampai dye marker bermigrasi secukupnya, tergantung dari ukuran DNA yang akan divisualisasikan.
Jika gel belum dicampur dengan EtBr sebelum elektroforesis, genangi gel dengan EtBr 0,5 mg/ml dalam bufer TAE atau TBE sampai DNA berikatan dengan cat warna tersebut dan dapat dilihat dengan menggunakan cahaya UV.
Komentar
Posting Komentar