EKSTRAKSI ASAM NUKLEAT
A.
Pendahuluan
Ekstraksi atau isolasi asam nukleat
adalah salah satu teknik dasar yang harus dikuasai dalam mempelajari teknik
biologi molekular. Tujuan dari ekstraksi atau isolasi asam nukleat adalah
membuang dan memisahkan asam nukleat dari komponen sel lainnya (protein,
karbohidrat, lemak, dll) sehingga asam nukleat yang diperoleh dapat dianalisis
dan atau dimodifikasi lebih lanjut dengan teknik biologi molekular lainnya.
Protokol ekstraksi atau isolasi asam
nukleat biasanya melibatkan proses fisik dan kimia. Proses tersebut biasanya dimulai
dengan homogenisasi jaringan untuk meningkatkan jumlah sel atau permukaan area
yang akan dilisiskan. Homogenisasi jaringan sangat berguna untuk mengekstrak
asam nukleat dari organ atau jaringan. Langkah selanjutnya biasanya adalah
permeabilisasi sel target. Permeabilisasi sel dapat dilakukan dengan menggunakan
detergen non-ionik (sehingga tidak mengikat asam nukleat) seperti Tween, SDS (Sodium Dodecyl Sulfate), Nonidet,
Laureth dan Triton. Untuk melepaskan asam nukleat di dalamnya sel perlu
dilisiskan terlebih dahulu (biasanya menggunakan bufer hipotonik). Langkah
selanjutnya berupa degradasi dan presipitasi protein (dengan pemanasan, enzime
proteinase atau dengan menggunakan garam chaotropic).
Asam nukleat yang diperoleh dapat dipresipitasi untuk dikonsentrasikan ke dalam
volume yang lebih kecil. Presipitat yang sering digunakan adalah isopropanol,
etanol, dan PEG (polyethylene glycol).
Setelah dilakukan pencucian, langkah terakhir adalah solubilisasi asam nukleat.
Metode yang paling dikenal untuk
ekstraksi/isolasi asam nukleat adalah metode fenol/khloroform/isoamilalkohol.
Metode ini sangat bermanfaat untuk aplikasi PCR karena dapat membantu
menghilangkan penghambat PCR yang terdapat pada larutan ekstrak. Metode ini
akan menghasilkan lapisan air yang mengandung asam nukleat, lapisan antara
fenol dan air yang berisi protein penghambat yang mengalami presipitasi dan
polimer (termasuk karbohidrat), dan lapisan khloroform-isoamilalkohol yang mengikat
lemak. Setelah ektraksi fenol ini, lapisan air dipindahkan ke tabung mikrosentrifus
steril dan asam nukleat dipresipitasi dengan menambahkan 3 M Sodium asetat pH
5,2 yang diikuti dengan pencucian menggunakan etanol 100% dilanjutkan dengan
etanol 70% untuk membuang sisa fenol dan garam. Meskipun sangat murah dan relatif
mudah, yang perlu diingat adalah phenol/khloroform/isoamilalkohol sangat toksik
dan limbahnya perlu perlakukan khusus sebelum dibuang.
B.
Ekstraksi
DNA
Saat ini kita dapat menemukan berbagai
macam metode ektraksi DNA. Para peneliti selalu berusaha menyederhanakan
tahapan yang digunakan atau mengurangi jumlah perlakukan. Tahapan atau
perlakuan yang terlalu panjang dan terlalu kompleks sering meningkatkan resiko
kegagalan, terutama bagi pemula. Tahapan atau perlakuan dalam ekstraksi DNA
juga dipengaruhi asal sel/jaringan target. Pada modul praktikum ini akan
dibahas prinsip dasar ekstraksi DNA secara umum.
DNA biasanya diisolasi dari sel dengan
menggunakan metode yang melisiskan sel tetapi mencegah fragmentasi DNA. Langkah
ini biasanya melibatkan EDTA (ethylenediaminetetraacetic
acid) yang dalam proses tersebut akan mengikat ion magnesium (kofaktor yang
dibutuhkan oleh enzim DNase). Idealnya dinding sel (jika ada) didigesti secara
enzimatis (misalnya dengan enzim lisosim). Selanjutnya membran sel sebaiknya
disolubilisasi dengan detergen. Jika disrupsi fisik dibutuhkan sebaiknya
dilakukan seminim mungkin. Dalam proses disrupsi ini enzim nuklease yang
terlepas dari komponen selular dapat mencerna asam nukleat secara efisien,
sehingga kerja enzim nuklease harus dihambat. Disrupsi sel dan sebagian besar
langkah selanjutnya sebaiknya dilakukan pada suhu 4 0C, menggunakan
alat yang terbuat dari gelas dan larutan yang telah di-autoclave (fungsi
autoclave adalah untuk menghancurkan aktivitas DNase pada alat atau larutan
tersebut). Setelah melepaskan asam nukleat dari sel, RNA dapat dihilangkan
dengan penambahan RNase yang telah diterapi panas untuk menginaktivasi DNase
kontaminan (RNase relatif stabil terhadap panas karena adanya ikatan disulfida
yang akan menyebabkan proses renaturasi ketika didinginkan). Kontaminan mayor
lainnya, yaitu protein, dihilangkan dengan dengan larutan fenol atau campuran
fenol-khloroform (keduanya akan mendenaturasi protein tetapi tidak
mendenaturasi asam nukleat). Setelah campuran tersebut dibuat menjadi emulsi,
dilakukan pemusingan. Setelah pemusingan akan terbentuk bagian organik di
bagian bawah dan bagian aqueous di bagian atas dipisahkan lapisan yang terdiri
dari protein yang terdenaturasi. Cairan aqueous diambil dan dideproteinisasi
beberapa kali sampai tidak ada lagi material yang terlihat pada lapisan tengah.
Kemudian DNA yang sudah tidak mengandung protein ini dicampur dengan dua bagian
etanol. DNA akan menjadi presipitat, terpisah dari larutan sampel tersebut.
Setelah dipusingkan, pelet DNA kemudian dilarutkan kembali.
Secara umum
mekanisme isolasi total DNA seluler secara konvensional adalah sebagai berikut:
1. homogenisasi sel/jaringan (dalam
suhu 4 0C, semua bahan dan peralatan steril)
2. lisis seluler
(dengan detergen atau lisosim)
3. penambahan chelating agents: EDTA/sitrat
4. penambahan
proteinase (proteinase K)
5. ekstraksi
fenol (atau fenol-khloroform)
6. presipitasi
alkohol (70% atau 100% etanol)
7. pelarutan kembali
DNA, misalnya dengan bufer TE (Tris-EDTA)
Beberapa senyawa mempunyai fungsi
multipel dalam protokol ekstraksi asam nukleat. Agen chaotropic seperti GuSCN (guanidine
isothiocyanate), NaI (sodium iodide),
dan LiCl (lithium chloride) memiliki
kemampuan untuk menghancurkan kapsul lemak dan merusak integritas sel,
denaturasi protein dan menginaktivasi nuklease. GuSCN dengan molaritas di atas
4 M dapat mempresipitasi DNA dan RNA berberat molekular tinggi. Dalam
lingkungan yang tinggi garam chaotropic
ini senyawa silika dapat berikatan secara spesifik dengan molekul DNA dan RNA,
sedangkan lemak dan protein kontaminan hanya mempunyai afinitas yang moderat
terhadap silika sehingga dapat dicuci bersih darinya. Absorbsi asam nukleat
pada matriks silika meningkat pada pH asam dan konsentrasi garam yang tinggi,
sehingga larutan bufer yang mengandung pH yang tinggi dan konsentrasi garam
yang rendah dapat digunakan untuk mencuci-lepaskan asam nukleat dari matriks
silika. Cara lain pemanfaatan silika dalam proses ekstraksi asam nukleat adalah
dengan melakukan perubahan kimia pada matriks silika sehingga akan secara
spesifik berikatan dengan protein atau polisakarida (prosesnya berkebalikan
dengan penjelasan sebelumnya). Ekstraksi asam nukleat berbasis silika ini telah
menjadi dasar metode ekstraksi asam nukleat kit komersial. Matriks silika dalam
kit komersial tersebut dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, seperti filter (spin column), gel (glassmilk, silica gel),
suspensi (celite, plain-coarse silicate), bahkan partikel
berselubung magnetik (Dynabeads).
Filtrasi, sentrifugasi, atau penggunaan magnet memungkinkan pemisahan asam
nukleat yang berikatan dengan silika dari kontaminasi lemak, karbohidrat dan
protein melalui langkah pembilasan yang multipel. Metode ini juga mendasari
pembuatan alat ekstraksi asam nukleat. Metode alternatif yang berbasis matriks
silika antara lain teknik hibridisasi fragmen asam nukleat yang menggunakan probe yang didesain spesifik yang
melekat pada matriks solid atau bead
magnetik. Kelemahan umum dari teknik penangkapan seperti ini adalah selama
proses pelekatan dan cuci-lepas, dapat terjadi fragmentasi dan hilangnya DNA
target.
DNA juga dapat diisolasi dari organela
spesifik atau partikel virus. Untuk ekstraksi DNA semacam ini sebaiknya dilakukan
isolasi organela target atau virus tersebut terlebih dahulu sebelum dilakukan
ekstraksi DNA-nya karena isolasi DNA target dari campuran DNA (DNA total)
relatif sulit. Jika dibutuhkan isolat DNA dengan kemurnian yang tinggi, DNA
dapat dimurnikan dengan density gradient
centrifugation menggunakan CsCl (Caesium
chloride).
Untuk memeriksa integritas DNA dapat
dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose. Secara kasar gambaran yang
diperoleh dari elektroforesis pada gel agarose tersebut juga dapat digunakan
untuk menaksir konsentrasi isolat DNA kita. Cara yang lebih akurat untuk mengetahui
konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh adalah dengan menggunakan
spektrofotometer UV. DNA untai tunggal mempunyai koefisien absorbsi 0,027, DNA
untai ganda 0,02 dan RNA 0,025 mg per-ml per-cm
pada panjang gelombang 260 nm. Rasio absorbsi 260/280 nm dapat digunakan untuk
mengetahui adanya kontaminasi protein atau fenol (protein memiliki absorbsi
maksimum pada 280 nm). Sampel DNA yang murni memiliki rasio 260/280 nm sebesar
1,8-1,9, sedangkan sampel RNA yang murni 1,9-2,0. Jika rasio tersebut di bawah
1,8 berarti ada ketidakmurnian yang signifikan yang masih tertinggal di dalam
sampel. Saat ini sudah banyak dijual alat spektrofotometer otomatik yang secara
otomatis mengkalkulasi rasio 260/280 nm dan kuantitas asam nukleat. Yang perlu
diingat dalam penggunaan spektrofotometer adalah jangan lupa untuk selalu melakukan
kalibrasi dengan larutan “blank” sebelum memeriksa konsentrasi asam nukleat
sampel. Yang digunakan sebagai “blank” adalah pelarut yang digunakan untuk
melarutkan asam nukleat yang diperiksa.
C.
Ekstraksi
RNA
Metode untuk ekstraksi RNA mirip dengan
metode ekstraksi DNA. Namun, molekul RNA relatif pendek dan lebih sulit rusak
dengan shearing sehingga disrupsi sel
dapat dilakukan dengan lebih agresif. Meskipun begitu, RNA sangat mudah
didigesti oleh RNase yang terdapat endogen dengan konsentrasi yang bervariasi
di dalam sel dan di eksogen di jari. Sehingga, untuk ektraksi RNA harus
menggunakan sarung tangan dan medium yang digunakan untuk isolasi harus
mengandung detergen kuat untuk segera mendenaturasi RNase yang ada. Proses
deproteinisasi harus dilakukan secara lebih agresif karena RNA sering berikatan
kuat dengan protein. Penambahan DNase dapat digunakan untuk menghilangkan DNA.
RNA kemudian dipresipitasi dengan etanol. Reagen yang sering digunakan untuk
ekstraksi RNA adalah guanidinium
thiocyanate yang merupakan inhibitor kuat RNase dan merupakan denaturan
protein. Integritas RNA dapat dicek dengan elektroforesis menggunakan gel
agarose. Spesies RNA yang terbanyak (molekul rRNA) berukuran 23S dan 16S untuk
prokariot dan 18S dan 28S untuk eukariot. RNA tersebut akan tampak sebagai pita
yang diskrit dalam gel agarose dan mengindikasikan komponen RNA lainnya masih
utuh. Proses ini biasanya dilakukan dalam keadaan denaturasi untuk mencegah
terjadinya formasi struktur sekunder pada RNA.
RNA sangat sensitif terhadap nuklease.
Semua basa RNA memiliki grup 2-hidroksil reaktif sehingga mudah terjadi reaksi
kimia yang menghasilkan air dan merusakkan rantai gulanya. Yang perlu diingat,
nuklease (RNase) relatif stabil di lingkungan dan bahkan kadang masih dapat
bertahan setelah proses denaturasi panas dan ekstraksi fenol.
Aktivitas nuklease
selama proses ekstraksi asam nukleat dapat dikurangi dengan cara:
- Mempertahankan
suhu inkubasi dan sentrifugasi di bawah suhu optimum nuklease (37 0C),
misalnya dengan mempertahankan larutan ekstrak pada suhu es atau 4 0C.
- Menginaktivasi
nuklease pada permukaan gelas, air dan bahan habis pakai dengan bahan kimia
seperti DEPC (diethylpyrocarbonate).
- Inaktivasi
dan atau penghambatan secara kimiawi, misalnya dengan fenol atau garam
guanidinium.
- Penghilangan
ion logam ko-faktor untuk nuklease dengan chelating
agent.
Untuk mengisolasi mRNA eukariotik (yang hanya
2-5% dari RNA selular) dari campuran molekular RNA total dapat dilakukan dengan
afinitas kromatografi terhadap kolumn oligo(dT)-selulosa. Pada konsentrasi
garam yang tinggi, mRNA yang mengandung ekor poli(A) akan berikatan dengan
molekul oligo(dT) komplementer pada kolumn afinitas, sehingga mRNA tetap
tertinggal, sedangkan molekul RNA lainnya dapat dicuci bersih dari kolumn
menggunakan larutan tinggi garam. Selanjutnya, mRNA yang terikat tadi dapat
dilarutkan dengan garam berkonsentrasi rendah.
D.
Penyimpanan
Asam Nukleat
Penyimpanan larutan DNA atau RNA sering
problematik. Jika ingin disimpan dalam waktu lama larutan DNA dapat disimpan
dalam bentuk aliquot dalam -20 0C atau -70 0C untuk
menghindari kerusakan karena pengulangan freeze-thawing.
Untuk pemakaian “sehari-hari” DNA dapat disimpan dalam 4 0C untuk
beberapa bulan. Hanya saja, jika DNA dilarutkan dalam air, kualitas DNA
tersebut dapat memburuk jika disimpan dalam 4 0C (DNA akan bersifat
asam lemah dalam air). Untuk mengatasinya, DNA dapat dilarutkan dalam bufer TE
(Tris-EDTA). Sayangnya, EDTA merupakan chelating
agent yang dapat mengikat ion Mg sehingga dapat menjadi masalah jika
digunakan untuk pemeriksaan PCR. Tris tidak memiliki efek penghambatan terhadap
aktivitas Taq polimerase, hanya saja kesuksesan dan reproduksibilitasnya sering
bergantung pada pH reaksi campuran PCR. Larutan RNA juga dapat disimpan dalam
bentuk aliquot dalam -20 0C atau -70 0C. Untuk
penyimpanan dalam waktu lama RNA sebaiknya disimpan dalam suhu -70 0C
atau jika memungkinkan dalam nitrogen cair (-196 0C).
Ekstraksi
DNA dari Darah Metode Kawasaki untuk Aplikasi PCR
Reagen:
1) Proteinase K (20
mg/ml dalam 10 mM Tris-Cl pH 7,5)
2) Bufer TE:
-
10 mM Tris-Cl
-
1 mM EDTA (pH 7,5 atau 8,0)
3) Bufer PCR:
-
50 mM KCl
-
10-20 mM Tris-Cl
-
2,5 mM MgCl2 (pH 8,3)
4) Bufer K:
-
Bufer PCR
-
Tween 20 0,5%
-
100 mg/ml Proteinase K
Prosedur:
1. Campur 50 ml
darah utuh dengan 0,5 ml bufer TE dalam tabung mikrosentrifus.
2. Sentrifus 10 detik
dengan kecepatan 13.000 x g.
3. Buang supernatan, resuspen pelet
dengan 0,5 ml buffer TE, sentrifus 10 detik 13,000 x g.
4. Ulangi langkah no-3
dua kali.
5. Resuspen pelet terakhir dalam 100 ml
Bufer K, inkubasi 45 menit pada 56 0C (atau semalaman jika
memungkinkan).
6. Inkubasi 10 menit 95
0C.
7. DNA siap dipakai
untuk PCR.
BAB
II
PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)
A.
Prinsip
Dasar PCR
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA
selektif in vitro yang meniru
fenomena replikasi DNA in vivo.
Komponen reaksi yang diperlukan dalam teknik ini adalah untai tunggal DNA sebagai
cetakan, primer (sekuens oligonukleotida yang mengkomplementeri akhiran sekuens
cetakan DNA yang sudah ditentukan), dNTPs (deoxynucleotide
triphosphates), dan enzim polimerase DNA.
1.
DNA
Untuk aplikasi PCR, kemurnian DNA
mempengaruhi hasil. DNA yang tidak murni sering menyebabkan masalah
reproduksibilitas. Untuk tujuan diagnosis DNA (atau RNA) harus dimurnikan
dahulu sebelum diproses dengan PCR. Dalam proses isolasi tersebut DNA yang
dihasilkan sebaiknya bebas nuklease, endo-atau eksoprotease, dan DNA-binding protein. Khusus untuk RNA,
karena RNA tidak dapat digunakan sebagai cetakan langsung untuk PCR, maka
diperlukan tahapan transkripsi balik untuk membuat mRNA menjadi DNA
komplementernya (cDNA) yang kemudian dapat digunakan sebagai cetakan untuk PCR.
Teknik ini disebut dengan RT-PCR (reverse
transcription-PCR atau PCR transkripsi balik).
2.
Primer
Primer PCR adalah komponen yang sangat
menentukan keberhasilan PCR. Sangat penting untuk mendesain sepasang primer
yang “baik-efektif-efisien”. Ada beberapa program untuk mendesain primer PCR
yang dapat digunakan secara gratis, seperti MEDUSA, Primer3, PrimerQuest, dan
lain-lain. Penggunaan program semacam ini sangat disarankan untuk mendesain
protokol PCR baru. Meskipun begitu, kita juga dapat mendesain primer PCR secara
manual berbekal beberapa aturan dasar. Kelebihan dari desain primer secara
manual adalah kita dapat mendesain primer PCR yang efektif dengan karakteristik
yang mungkin "tidak diijinkan" oleh program yang ada.
Aturan dasar tersebut adalah sebagai
berikut:
-
Panjang primer sebaiknya
antara 18-30 nukleotida (kecuali untuk tujuan tertentu).
-
Sekuens dalam primer
sebaiknya tidak mengandung daerah komplementari internal.
-
Sebaiknya dalam
sepasang primer tidak ada daerah yang saling berkomplementari.
-
Dalam primer tidak ada
struktur sekunder.
-
Memiliki kandungan GC (guanosine dan cytosine) 50%. Hindari ketidakseimbangan distribusi daerah kaya G/C
dan A/T.
-
Untuk PCR diagnostik
pilih primer PCR yang mengamplifikasi daerah yang stabil secara genetik.
-
Perbedaan suhu anealing
dalam suatu pasangan primer jangan lebih dari 5 0C.
PCR dapat digunakan untuk berbagai macam
aplikasi. Aplikasi yang berbasis PCR biasanya membutuhkan primer PCR yang telah
dimodifikasi. Ada berbagai macam modifikasi primer PCR yang mungkin kita
lakukan, namun pada prinsipnya adalah:
a. Modifikasi
5'end
-
Penambahan tempat
restriksi (sekuens yang dapat dikenali oleh enzim restriksi endonuklease)
-
Penambahan sekuens
pengatur
-
Penambahan Promotor dan
RBS (ribosomal binding sites)
-
Penambahan label
-
Penambahan GC-clamp
b. Degenerate primer
-
Site
directed mutagenesis
-
DOP (degenerate oligonucleotide primer) PCR
-
Translasi sekuens asam
amino ke dalam sekuens genomik
-
Primer universal
-
Primer kompetitor
c. Miscellaneous
-
Primer sekuens berulang
-
Primer concatemeric
-
Primer PCR multipleks
-
Megaprimer
-
Molecular
beacon
3. dNTPs
(Deoxynucleotide triphosphates)
dNTPS merupakan blok pembangun molekul
asam nukleat yang terdiri dari deoxyadenosine
triphosphate (dATP), deoxythymidine
triphosphate (dTTP), deoxycytosine
triphosphate (dCTP), dan deoxyguanosine
triphosphate (dGTP). Dalam beberapa aplikasi dan protokol PCR, salah satu
dari empat dNTP tersebut dapat diganti elemen analog. Modifikasi ini berguna untuk
aplikasi yang berbasis paska-PCR.
4. Polimerase
DNA
Ketika terjadi sintesis DNA, enzim
polimerase DNA akan melakukan seleksi nukleotida yang tepat untuk ditambahkan
ke primer untuk melanjutkan rantai DNA sesuai dengan aturan pasangan basa
Watson-Crick (A:T dan G:C). Polimerase DNA selalu mengkatalis sintesis DNA
dalam orientasi 5' ke 3'. Beberapa polimerase DNA juga memiliki aktivitas
eksonuklease atau yang sering disebut dengan aktivitas "proofreading"
yang akan memeriksa basa yang telah ditambahkan untuk menumbuhkan untai DNA.
Ketika terjadi penambahan nukleotida yang tidak tepat aktivitas proofreading tersebut akan membuang basa
yang tidak tepat tersebut. Mekanisme koreksi ini akan meningkatkan akurasi atau
atau yang disebut juga dengan fidelitas. Ketika membandingkan atau memilih polimerase
DNA, ada dua hal yang penting dalam PCR yaitu fidelitasnya dan efisiensi
sintesisnya.
Macam-macam polymerase lainnya yang saat
ini ada di pasaran: AmpliTaq, Stoffel, Ampliterm, Pyra, TTH 94, Tfl, Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, UL Tma, dan Thermal Ace. Dari enzim polimerase tersebut yang memiliki
aktivitas 5’-3’ proofreading adalah:
AmpliTaq, TTH 94, dan Tfl. Yang memiliki aktivitas 3’-5’ proofreading adalah: Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, dan Thermal Ace.
5. Bufer
reaksi PCR
Bufer reaksi PCR biasanya mengandung Mg2+,
kation monovalen, dan beberapa co-solvent.
Co-solvent membantu menstabilisasi enzim
polimerase DNA, mempengaruhi kerja enzim, dan atau DNA melting temperature (Tm). Ion Monovalen seperti Na+,
K+ dan NH4+ menstimulasi aktivitas polimerase DNA dan
melindungi muatan negatif gugus fosfat DNA, sehingga melemahkan kekuatan
elektronik yang saling menolak antara primer dan DNA target. Ion Mg2+
berperan sebagai ko-faktor aktivitas polimerase DNA thermostabil. Secara umum
konsentrasi ion Mg2+ yang sering digunakan adalah 2,5 mM (antara
0,5-5 mM). Yang perlu diingat, konsentrasi ion magnesium yang berlebihan
menghambat reaksi amplifikasi PCR.
B.
Reaksi
PCR
Pada prinsipnya, reaksi PCR (protokol
PCR konvensional) membutuhkan tiga tahap:
1.
Denaturasi (Melting)
Prinsipnya adalah memisahkan DNA untai
ganda menjadi komponen untai tunggal, sehingga memungkinkan terjadinya
hibridisasi primer PCR untai tunggal pada sekuens targetnya (jika ada).
2.
Annealing
(Hibridisasi) Primer PCR
Pada tahap ini terjadi hibridisasi
primer PCR pada sekuens targetnya. Secara umum suhu annealing PCR biasanya
berasal dari suhu annealing primer
hasil kalkulasi matematis dikurangi 5 derajat Celcius, dengan kata lain primer
dapat berikatan dengan target komplementarinya dan jika sudah terhibridisasi
tidak mudah mengalami disosiasi. Waktu yang dibutuhkan biasanya 15-60 detik.
3.
Elongasi (ekstensi
rantai DNA)
Tahap ini penting untuk mengamplifikasi
daerah yang sudah dihibridisasi oleh primer, dari 5'end ke 3'end. Sebagian
besar enzym polimerase membutuhkan suhu elongasi 72 0C. Secara umum
suhu elongasi sebaiknya 5 0C di bawah suhu melting seluruh amplimer.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan langkah elongasi adalah
waktu inkubasi, yaitu sebaiknya cukup panjang bagi polimerase DNA
mengamplifikasi sekuens target secara komplit tetapi cukup pendek untuk
mencegah amplifikasi produk non-spesifik yang lebih panjang daripada sekuens
target.
Secara detail, protokol suatu PCR
tergantung dari tujuan, enzim polimerase, primer, bahkan kit yang digunakan.
Berdasarkan
proses kinetik yang terjadi, reaksi PCR dapat dibagi menjadi 3 fase kinetik:
1. Fase
Awal
2. Fase
Eksponensial
3. Fase
Plateau
C.
Analisis
dan Visualisasi Produk PCR
Analisis produk PCR dapat dilakukan
secara ex-vitro (dilakukan di luar
tabung PCR, misalnya: elektroforesis gel, hibridisasi DNA) maupun in-vitro (dalam tabung PCR dan selama
reaksi PCR berlangsung). Kedua teknik tersebut membutuhkan produk PCR yang
telah di-"visualisasi"-kan sebelum dianalisis.
Visualisasi produk
amplifikasi PCR:
1. mengecat
DNA untai ganda dengan bahan pewarna kimia atau ion perak yang berinterkalasi
di antara untai ganda DNA
2. labelisasi
primer PCR atau nukleotida dNTP dengan bahan pewarna fluoresen (fluorophore) atau
hapten sebelum amplifikasi PCR
D.
Positif
Palsu dan Negatif Palsu
1. Positif
Palsu
Penyebab tersering hasil PCR yang
positif palsu:
-
Primer yang digunakan
tidak cukup selektif.
-
Suhu annealing primer
terlalu rendah.
-
Terlalu banyak siklus
PCR.
2. Negatif
Palsu
Hasil negatif palsu terjadi jika kontrol
positif atau sampel yang telah diketahui mengandung molekul target PCR spesifik
ternyata memberikan hasil pemeriksaan yang negatif.
Penyebab tersering hasil PCR yang
negative palsud:
-
Jumlah DNA target dalam
sampel di bawah ambang batas deteksi.
-
Terdapat faktor yang mendenaturasi
atau menghambat kerja Taq polimerase.
-
pH dan atau sistem bufer
yang tidak tepat.
-
Prosedur deteksi
amplimer yang kurang sensitif.
-
Problem pada
elektroforesis gel.
-
Mutasi pada cetakan
atau oligomer.
-
Depurinasi.
-
Gangguan pada proses
denaturasi DNA atau hibridisasi primer.
-
Problem pada reaksi thermocycling.
-
Kehilangan asam nukleat
pada proses ekstraksi asam nukleat.
-
Asam nukleat tidak
terkestrak.
-
Struktur sekunder pada
asam nukleat target.
E.
Aplikasi
Medis PCR
Aplikasi medis PCR utama adalah deteksi
patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor
resiko penyakit. Contohnya, antara lain:
-
Deteksi polimorfisme: RFLP
(restriction fragment length
polymorphisms), VNTR (variable number
of tandem repeat sequences), dan STR (short
tandem repeats)
-
Skreening/deteksi
mutasi berbasis PCR
-
PCR kuantitatif: dengan
menggunakan kompetitor/mimic (internal exogenous standards), dengan housekeeping gene (internal endogenous standard), atau dengan Real-Time PCR.
Variasi dan adaptasi
protokol PCR konvensional:
-
Labelisasi amplimer PCR
untuk visualisasi produk PCR, pembuatan probe DNA dan kloning.
-
PCR dua langkah
(denaturasi dan kombinasi annealing + ekstensi/amplifikasi).
-
PCR booster (untuk menghambat akumulasi
amplimer non spesifik dan komplek primer dimer).
-
PCR Hot-Start dan Time-Release (untuk mengurangi pembentukan amplimer non spesifik).
-
Inverse
PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang belum diketahui sekuensnya yang terletak
tepat di atas atau di bawah daerah yang sudah diketahui sekuensnya).
-
PCR asimetrik (salah
satu primer PCR mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan primer
pasangannya sehingga menghasilkan konsentrasi tinggi molekul DNA untai tunggal).
-
Sekuensing DNA yang
dimediasi PCR.
-
PCR Touchdown dan Touch-Up (untuk sampel DNA komplek yang hanya mengandung sedikit
molekul cetakan, PCR multiplek, amplifikasi selektif daerah target dimana satu
atau lebih sekuens primer sangat mirip dengan sekuens lainnya yang terdapat
dalam cetakan DNA yang digunakan, untuk protokol umum PCR dengan banyak
pasangan primer PCR).
-
PCR multiplek
(menggunakan beberapa pasangan primer dalam campuran PCR yang sama untuk
mengamplifikasi beberapa target yang berbeda pada waktu yang sama).
-
PCR degenerasi
(menggunakan campuran primer PCR yang didesain untuk mengamplifikasi sekuens
target DNA genetik yang sama dimana diharapkan ada sejumlah kecil perubahan
nukleotida antara isolat atau individual yang berbeda)/
-
PCR repeat dan inter-repeat. PCR repeat (untuk
menentukan panjang daerah genetik yang mengandung sekuens pengulangan tandem.
PCR inter-repeat dilakukan dengan
teknik RAPD (random amplification of
polymorphic DNA) atau arbitrary
primed (AP-PCR) untuk mengetahui keberadaan daerah pengulangan sekuens genetik).
-
AFLP-PCR (amplification fragment length polymorphism)
untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda berdasarkan keberadaan daerah
enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi).
-
BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning) untuk
mendeteksi mutasi T/A atau A/T.
-
DD-RT-PCR (Differential Display RT-PCR) untuk memvisualisasikan
perbedaan ekspresi gen pada sel-sel yang berbeda tipenya atau sel-sel yang sama
tipenya tapi mendapatkan perlakuan yang berbeda.
-
Protein
Truncation Test (PTT), untuk mendeteksi adanya
mutasi pada DNA genomik yang menginduksi adanya stop codon pada mRNA-nya.
-
PCR untuk mendeteksi
adanya metilasi DNA.
-
Breakpoint
PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang mengalami translokasi).
-
PCR mutagenesis (untuk
mengintroduksi mutasi pada sekuens DNA yang telah diketahui).
-
PCR untuk kloning.
-
SAGE (Serial Analysis of Gene Expression)
-
PCR ELISA
-
Amplification
refractory mutation system (ARMS) untuk
mendeteksi point mutation melalui
priming oligonukleotida kompetitif.
-
PCR in situ
F.
Pencegahan
Terhadap Kontaminasi
PCR merupakan metode deteksi yang sangat
sensitif. Untuk mendapatkan hasil yang akurat dan reproduksibel, prinsip Good Laboratory Practice perlu
dijalankan oleh mereka yang bergelut dengan teknik ini.
Pecegahan terhadap kontaminasi dimulai
dari masalah penataan ruang dan peralatan. Masing-masing alat sebaiknya
diletakkan dalam ruangan yang terpisah sesuai dengan peruntukkannya. Sebaiknya,
untuk menghindari terjadinya kontaminasi, semua langkah yang berhubungan dengan
persiapan PCR (pengolahan spesimen, persiapan reaksi PCR, dan sintesis primer)
dilakukan di ruangan yang bertekanan positif untuk mencegah masuknya kontaminan
dan aerosol. Untuk tahapan PCR (thermocycling)
dan elektroforesis gel untuk analisis produk PCR sebaiknya dilakukan di ruangan
yang bertekanan negatif untuk mencegah keluarnya aerosol yang terkontaminasi
produk PCR ke luar ruangan.
Urutan perjalanan bahan dan personel
yang melakukan teknik PCR harus dalam urutan yang semestinya dan tidak
berulang. Sebagai contoh, setelah mempersiapkan reaksi PCR dilanjutkan dengan
langkah memasukkan sampel, lalu melakukan PCR, dan terakhir elektroforesis.
Spesimen klinis dan produk PCR merupakan sumber kontaminasi utama sehingga
TIDAK BOLEH dibawa kembali ke tempat reaksi PCR, begitu juga sebaliknya.
Idealnya, mereka yang bekerja di ruangan untuk elektroforesis tidak boleh
bekerja di ruangan untuk persiapan PCR (isolasi spesimen, pembuatan reaksi PCR)
dalam hari yang sama karena mereka beresiko membawa kontaminan produk PCR pada
baju-tangan-rambut, dll. Namun, untuk laboratorium yang sibuk, rekomendasi
tersebut mungkin sulit diterapkan. Oleh karena itu, untuk membantu langkah
pencegahan, setiap ruangan yang digunakan untuk setiap tahap PCR sebaiknya
memiliki pakaian dan sarung tangan tersendiri. Pakaian dan sarung tangan
tersebut harus dipakai ketika bekerja di ruangan tersebut dan harus dilepas
sebelum berpindah ke ruangan yang lain. Pakaian laboratorium tersebut juga
sebaiknya dilabel yang jelas, dicuci bersih dan di-autoclave secara teratur, dan penggunaannya secara ketat dibatasi
sesuai dengan ruangan dan personel yang bersangkutan.
Sebagai langkah pencegahan kontaminasi,
semua tabung yang mengandung spesimen klinis, reaksi PCR, primer, dan asam
nukleat disentrifugasi dahulu sebelum dibuka untuk mengurangi kontaminasi
aerosol ketika membuka tutupnya. Semua bahan yang digunakan (tabung
mikrosentrifus, tip, bufer, larutan, dll) sebaiknya dalam keadaan steril
(disterilisasi dahulu sebelum dipakai). Idealnya permukaan meja laboratorium
dibersihkan dengan 1 N HCl secara teratur atau menggunakan sinar-uv atau
radiasi sinar gama selama satu malam untuk menghancurkan aerosol kontaminan
yang dihasilkan selama bekerja seharian.
Sumber kontaminasi terpenting pada
laboratorium PCR adalah aerosol. Sayangnya, hampir semua tahapan dalam teknik
biomol dapat menghasilkan produk aerosol. Aerosol ini dapat bertahan di udara
ruangan selama beberapa jam dan dapat menyebar apabila ada aliran udara yang
masuk/keluar seperti ketika pintu laboratorium dibuka/ditutup. Aerosol ini
dapat menempel pada meja, baju, tangan, bahkan pada reaksi PCR yang sedang
dibuat. Kontaminan yang terdapat pada tangan/baju/rambut juga dapat
mengkontaminasi reaksi PCR “steril”. Sumber kontaminan penting lainnya adalah
debu. Debu yang terkontaminasi plasmid, DNA, atau produk PCR ini dapat menyebar
dengan mudah apabila Good Laboratory
Practice tidak dijalankan dengan baik (misalnya, pakaian dan atau sarung
tangan yang digunakan ketika melakukan elektroforesis produk PCR dibawa ke
ruangan lain).
Pembagian
Ruangan Laboratorium PCR:
1. Ruangan
“Bersih”
Pembuatan reaksi PCR dilakukan di
ruangan “bersih”. Di tempat ini hanya terdapat bufer dan enzim yang dibutuhkan
untuk membuat larutan reaksi PCR dan primer beserta bahan dan alat penunjangnya
(tips, pipetman, dll). Spesimen, asam nukleat, produk PCR, plasmid dan semua
alat/bahan yang berkaitan dengan yang disebutkan tersebut tidak boleh dibawa
masuk ke dalam ruangan ini. Begitu pula sebaliknya, semua alat/bahan di dalam
ruangan bersih tidak boleh dibawa keluar.
2. Ruangan
penerimaan sampel dan atau isolasi asam nukleat
Ruangan ini adalah ruangan bersih yang
kedua, dimana plasmid dan produk PCR tidak boleh berada di dalam ruangan ini.
3. Ruangan
PCR
Ruangan ini adalah tempat alat PCR
berada dan sebaiknya tidak ada manipulasi apapun terhadap sampel PCR di ruangan
ini.
4. Ruangan
paska-PCR
Di ruangan ini dilakukan analisis produk
PCR termasuk diantaranya elektroforesis gel. Ruangan ini sangat beresiko tinggi
terjadi kontaminasi aerosol dan atau debu.
BAB
III
ELEKTROFORESIS
GEL
A.
Pendahuluan
Elektroforesis adalah perpindahan
molekul yang bermuatan sebagai respon terhadap medan listrik. Angka perpindahan
tergantung pada kekuatan medan listrik, muatan listrik, ukuran dan bentuk
molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium yang digunakan oleh
molekul tersebut untuk berpindah. Elektroforesis merupakan alat analisis yang
simpel, cepat, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi. Elektroforesis digunakan
untuk mempelajari properti spesies bermuatan tunggal dan juga untuk teknik
separasi. Elektroforesis sering digunakan untuk mengkarakterisasi massa
molekular polinukleotida dan polipeptida, seperti kemurnian,
heterogenisitas/adanya degradasi, dan komposisi subunit polinukleotida dan
polipeptida.
Ada beberapa variasi teknik
elektroforesis. Masing-masing menghasilkan informasi yang berbeda-beda sehingga
mempunyai kegunaan yang berbeda-beda pula. Secara umum, sampel akan dijalankan
di suatu matriks/medium. Medium yang sering digunakan adalah agarose dan
poliakrilamid, yang merupakan gel berpori, dan dalam kondisi tertentu dapat memisahkan
molekul berdasarkan ukurannya.
B.
Elektroforesis
Gel DNA
Material elektroforesis gel yang sering
digunakan untuk DNA adalah agarose dan akrilamid. Elektroforesis menggunakan
gel agarose atau poliakrilamid merupakan metode standart untuk memisahkan,
mengidentifikasi dan memurnikan fragmen DNA. Metode paling mudah dan paling
sering digunakan adalah dengan gel agarose horisontal. Teknik ini sangat
sederhana, tidak memakan banyak waktu, dan dapat menghasilkan fragmen DNA yang
tidak dapat dipisahkan secara adekuat dengan prosedur lain seperti density gradient centrifugation. Gel
agarose dapat digunakan untuk memisahkan molekul yang berukuran lebih dari 100
bp (base pairs). Untuk resolusi yang lebih tinggi atau untuk separasi yang
lebih efektif dari molekul DNA yang lebih pendek sebaiknya menggunakan gel
poliakrilamid.
Gel akrilamid sering dimanfaatkan untuk
memisahkan fragmen DNA kecil, biasanya berukuran kurang dari 100 bp. Gel ini
biasanya menggunakan akrilamid berkonsentrasi rendah (<6%) dan mengandung agen
denaturing non-ionik (urea 6M). Agen denaturing ini berperan untuk mencegah
pembentukan formasi struktur sekunder oligonukleotida sehingga memungkinkan
penentuan massa molekular yang akurat.
DNA merupakan molekul yang bersifat
asam, sehingga akan bergerak dari kutub negatif (katoda) ke kutub positif
(anoda). Pergerakan DNA di dalam gel tergantung pada berat/ukuran molekul DNA,
bentuk konformasi DNA, konsentrasi agarosa, tegangan listrik yang digunakan dan
kekuatan bufer elektroforesis. Jenis bufer yang digunakan untuk elektroforesis
juga mempengaruhi resolusi pemisahan DNA. Bufer TAE (Tris-Acetate-EDTA) akan
menghasilkan resolusi yang lebih baik untuk fragmen DNA yang berukuran lebih
dari 4 kb, sedangkan bufer TBE (Tris-Borate-EDTA) akan menghasilkan resolusi
yang lebih baik untuk fragmen DNA berukuran 0,1–3 kb.
C.
Elektroforesis
Gel Protein
Elektroforesis gel untuk protein hampir
selalu menggunakan poliakrilamid. Larutan akrilamid yang digunakan biasanya
mengandung dua komponen, yaitu akrilamid dan bis-akrilamid. Bis-akrilamid
merupakan komponen cross-linking
esensial dalam polimer akrilamid. Konsentrasi akrilamid total dalam gel
mempengaruhi migrasi protein. Untuk memisahkan protein, metode yang sering
digunakan adalah Sodium Dodecyl Sulphate
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Isoelectric Focusing (IEF). SDS-PAGE memisahkan protein berdasarkan
berat molekulnya dan IEF memisahkan molekul protein berdasarkan poin
isoelektriknya.
Gel protein biasanya dibuat dalam
terdenaturasi karena keberadaan SDS (sodium
dodecyl sulfate). Keberadaan SDS menyebabkan protein mengalami denaturasi
oleh panas. SDS berikatan dengan protein melalui interaksi hidrofobik secara
proporsional sesuai dengan ukuran protein. Karena adanya muatan alami dari
molekul SDS, maka protein bermigrasi dalam gel dengan kecepatan yang
proporsional dengan molekular massanya.
D.
Visualisasi
DNA dan Protein dalam Gel
Cara paling mudah untuk memvisualisasi
DNA dalam elektroforesis gel adalah dengan pengecatan menggunakan fluorescent intercalating dye seperti ethidium
bromid (EtBr). EtBr akan mengikat DNA dengan cara menginsersi diantara stacked base-pairs, yang disebut dengan
interkalasi, dan akan menghasilkan warna orange/merah fluoresen ketika
diiluminasi dengan cahaya UV. EtBr biasanya disiapkan dalam larutan stok
10mg/ml dalam air, disimpan dalam suhu kamar dan terlindung dari sinar cahaya.
EtBr dapat dituangkan dalam gel ketika proses pembuatan dan running bufer, atau
sebaliknya, gel direndam dalam larutan EtBr (0,5 mg/ml)
setelah elektroforesis selama 30 menit. Warna divisualisasikan dengan iradiasi
UV (misalnya menggunakan transiluminator) dan difoto dengan film polaroid. Jika
diperlukan, DNA dalam gel dapat diisolasi dan digunakan untuk tujuan kloning.
Yang perlu diperhatikan adalah karena EtBR merupakan agen interkalasi, maka
EtBr merupakan mutagen yang sangat kuat!!! Alternatif lainnya adalah dengan
menggunakan SYBRGreen atau Gelstar, yang mempunyai sensitivitas yang sama, namun
lebih aman untuk digunakan. Untuk pengecatan protein yang sering dipakai adalah
Coomassie Brilliant Blue atau sering juga menggunakan teknik “Pengecatan Perak”.
Elektroforesis gel untuk DNA dan protein
menggunakan standar berat molekular untuk mengkalibrasi ukuran sampel yang
dianalisis. Standar berat molekular DNA mengandung campuran fragmen DNA yang
sudah diketahui massa molekularnya. Sedangkan marker untuk berat molekular
protein biasanya terdiri dari campuran protein murni yang sudah diketahui massa
molekularnya.
Elektroforesis
Gel Agarose
Pembuatan Gel Agarose
Alat
yang dibutuhkan:
-
Submarine
gel apparatus, termasuk di antaranya glass plate, comb, dan surround.
-
Ethidium bromide 10
mg/mL atau SYBR Green.
-
Agarose dalam TBE atau
TAE.
-
gel-loading
buffer atau gel-loading dye.
Prosedur:
1. Untuk membuat 100 mL larutan agarose
0,8%, timbang 0,8gram agarose ke dalam glass
beaker atau flask dan tambahkan 100 mL 1xTBE atau TAE.
2. Cairkan agarose dengan menggunakan microwave atau autoclave.
3. Mix dengan magnetic stirrer dalam keadaan panas, dinginkan ke 55 0C
sebelum dituangkan.
4. Campur dengan EtBr sampai mencapai
konsentrasi 0.5 mg/ml dengan magnetic stirrer.
5. Tuangkan ke dalam gel tray yang sudah dipasangi comb.
6. Tuangkan gel ke dalam tray, biarkan dalam suhu kamar selama
15-20 menit sampai menjadi solid.
7. Ambil comb secara hati-hati, letakkan gel ke dalam electroforesis chamber, dan genangi (sampai cukup tergenang) dengan
bufer elektroforesis (gunakan bufer yang sama dengan yang digunakan untuk
membuat agarose).
8. Siapkan 1 ml
6x gel loading dye untuk setiap 5 ml
larutan DNA(atau RNA), campur dengan baik menggunakan pipet. Tuangkan campuran
tersebut ke dalam sumur.
9. Elektroforesis 50-150 Volt, sampai dye marker bermigrasi secukupnya,
tergantung dari ukuran DNA yang akan divisualisasikan.
Jika
gel belum dicampur dengan EtBr sebelum elektroforesis, genangi gel dengan EtBr
0,5 mg/ml dalam bufer TAE
atau TBE sampai DNA berikatan dengan cat warna tersebut dan dapat dilihat
dengan menggunakan cahaya UV.
Bab
V
Pengenalan
Enzym Restriksi
Enzim restriksi atau disebut juga enzim
endonuklease restriksi merupakan bagian dari sistem kekebalan bakteri untuk
melindungi bakteri dari infeksi DNA asing. Enzim endonuklease restriksi
biasanya diberi nama berdasarkan nama bakteri asal enzim tersebut diisolasi.
Saat ini telah dikenal lebih dari 200 enzim restriksi dengan sekuens tempat
pembelahan yang spesifik. Untuk mempermudah pemahamam tentang cara kerja enzim
restriksi akan digunakan contoh bakteri penghasil enzim EcoRI.
EcoRI merupakan enzim yang mengenali
sekuens 5'-G|AATTC-3'. Untuk melindungi DNA dalam selnya, bakteri penghasil
EcoRI tersebut menghasilkan enzim metilase. Enzim metilase dalam bakteri
tersebut akan memetilasi basa A kedua dalam urutan sekuens tersebut (GAATTC). Secara garis besar enzim
endonuklease restriksi bakteri akan mendigest pada atau di dekat tempat yang
dikenali/dimetilasi oleh enzim metilase yang dihasilkan bakteri tersebut. Dalam
hal enzim EcoRI, enzim tersebut akan memisahkan G dari A pada sekuens GAATTC.
Namun, pada bakteri penghasil EcoRI, karena basa A kedua pada sekuens GAATTC
tersebut telah dimetilasi, maka enzim EcoRI TIDAK AKAN mendigest DNA tersebut.
Dengan kata lain, pada bakteri penghasil enzim EcoRI, sekuens GAATTC-nya akan
mengalami metilasi pada basa adenin internalnya oleh enzim metilase EcoRI.
Enzim endonuklease EcoRI dalam bakteri yang sama tidak akan mendigest DNA yang
telah mengalami metilasi. DNA asing yang belum mengalami metilasi pada sekuens
GAATTC-nya akan dikenali sebagai DNA asing dan akan didigest enzim endonuklease
EcoRI, akibatnya DNA asing tersebut akan kehilangan fungsinya.Oleh karena itu,
enzim metilase dan endonuklease berfungsi sebagai sistem imun untuk bakteri,
melindungi bakteri tersebut dari DNA asing (misalnya virus). Enzim seperti EcoRI
tersebut disebut enzim endonuklease restriksi karena me-restrict DNA dalam sel agar hanya DNA asli/miliknya saja yang boleh
ada (DNA asing tidak boleh ada).
Kegunaan suatu ensim endonuklease
restriksi tergantung pada spesifisitas dan frekuensi terjadinya pengenalan
tempat restriksi yang terdapat pada sampel DNA manapun. AluI mempunyai
spesifisitas nukleotida sebanyak 4 nukleotida (A|GCT), sehingga DNA apapun akan
mengandung tempat yang dikenali AluI setiap 0,25 kilobasa. Sedangkan NotI
mempunyai spesifisitas nukleotida sebanyak 8 nukleotida (GC|GGCCGC), sehingga
DNA akan mengandung sekuens restriksi NotI setiap 65,5 kilobasa. Oleh karena
itu, NotI sangat berguna untuk mengisolasi daerah yang besar dari DNA terutama
pada penelitian yang berhubungan dengan manipulasi DNA genomik. Kebalikannya, AluI
akan mendigest sampel DNA menjadi banyak fragmen-fragmen kecil.
Gabungan dari kumpulan fragmen DNA hasil
digesti suatu sampel DNA dengan satu atau lebih enzim restriksi dapat menjadi
suatu sidik jari. DNA yang berbeda tidak akan menghasilkan kumpulan fragmen
yang beraneka ukuran yang sama. Oleh karena itu, DNA dari berbagai sumber dapat
dicocokkan atau dibedakan berdasarkan kumpulan fragmen yang dihasilkan
tersebut. Hal ini disebut RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphisms). Analisis sederhana ini sering digunakan
untuk forensik. Selain untuk tujuan pembuatan sidik jari DNA seperti tersebut
di atas, enzim endonuklease restriksi sering digunakan dalam proses kloning.
Hidrolisis endonuklease merupakan reaksi
yang spontan dan tidak membutuhkan ATP. Bufer reaksi untuk enzim endonuklease
biasanya mengandung 10 mM TRIS (dengan pH sekitar 8,0), garam magnesium
(biasanya 10 mM MgCl2), suatu reducing
agent (biasanya 1 mM dithiothreitol atau DTT), suatu protein karier
pelindung (biasanya 100 mg/ml bovine serum albumin atau BSA) dan garam
(NaCl). Penentu terpenting dalam aktivitas suatu enzim endonuklease biasanya
konsentrasi ionik dalam bufer (NaCl). Oleh karena itu, biasanya bufer untuk
enzim restriksi biasanya dibagi menjadi low
(20 mM), medium (100 mM), atau high (250 mM) berdasarkan konsentasi
NaCl-nya.
Digesti biasanya membutuhkan inkubasi
1-2 jam pada suhu 37 0C. Namun, pada keadaan tertentu dapat saja
dibutuhkan masa inkubasi yang panjang (misalnya satu malam/12 jam).
Enzim endonuklease restriksi biasanya
dijual dalam berbagai konsentrasi dengan aktivitas yang berdasarkan angka pendigestian
sampel DNA standart. Satu unit aktivitas biasanya didefinisikan sebagai
sejumlah enzim yang dibutuhkan untuk mendigest satu mg
DNA referensi dalam 1 jam pada suhu 37 derajat Celcius.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, S.M., Hay, J.G., Ostrer, H. 2009.
Essentials of Medical Genomics. Second ed. John Wiley & Sons, Inc. New
Jersey, USA.
Corkill, G., Rapley, R. 2008. The
Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools and Techniques. In: Molecular
Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press,
NJ, USA.
Epplen, J.E., and T. Lubjuhn. 1999.
DNA profiling and DNA fingerprinting. Birhkhauser Verlag, Berlin.
Harisha, S. 2007. Biotechnology
procedures and experiments handbook (An introduction to biotechnology).Infinity
Science Press LLC. Hingham, MA. Canada.
McPherson, M.J., Moller, S.G. 2006.
PCR. Second ed. Taylor & Francis Group. Madison Avenue, NY, US.
Theophilus, B.D.M. 2008. Principles
and Medical Applications of the Polymerase Chain Reaction. In: Molecular
Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press,
NJ, USA.
van Pelt-Verkuil, E., van Belkum,
A., Hays, J.P. 2008. Principles and technical aspects of PCR amplification.
Springer Science + Business Media B.V.
Komentar
Posting Komentar