Ilustrasi: Ikan Mati Akibat Overfeeding (Sumber: Kompas.com)
Ada empat masalah utama dalam akuakultur
Indonesia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014):
Pakan ikan
Pakan merupakan komponen tertinggi dalam
struktur biaya operasional budidaya ikan dan udang, di mana biaya pakan (biaya
pakan) dapat mencapai 40-70% dari biaya operasional. Kondisi ini menyiratkan
harga pakan memainkan peran penting dalam menentukan nilai produksi ikan.
Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan menentukan daya saing
ikan negara itu di pasar ekspor atau pasar domestik. Sebagai implikasinya,
mengendalikan harga pakan tetap pada tingkat kompetitif atau paling tidak
setara dengan biaya pakan serupa di negara pesaing adalah hal yang sangat
positif untuk pengembangan akuakultur berkelanjutan.
Sebagian besar bahan baku untuk pakan ikan di
Indonesia diimpor dari negara lain, terutama tepung ikan, tepung kedelai, dan
tepung jagung, atau bahkan jika ada produk dalam negeri yang biasanya lebih
mahal dan berkualitas lebih rendah daripada produk impor. Sementara itu, secara
teknis, sumber protein pakan umumnya berasal dari tepung ikan. Pada
kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia cenderung terus naik, karena
pasokannya kurang dari permintaan. Permintaan terus meningkat karena
perkembangan akuakultur di berbagai negara. Negara-negara ini adalah pesaing
Indonesia dalam mengekspor komoditas perikanan, dan tentu saja akan menjadi
penghalang bagi keberlanjutan budidaya secara ekonomi.
Penurunan
Kondisi Lingkungan
Negara berkembang seperti Indonesia melakukan
budidaya dengan cara tradisional, dengan manajemen dan kontrol yang buruk pada
air limbah. Kondisi ini menyebabkan banyak kontaminasi pada ekosistem air,
termasuk di wilayah sungai, danau, dan pesisir. Efek lebih lanjut dari kondisi
ini adalah kematian ikan massal di daerah akuakultur. Misalnya, pada bulan
Oktober hingga November 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melaporkan
kematian massal ikan yang dibudidayakan di jaring apung di Teluk Lampung karena
ledakan ledakan populasi fitoplankton (Sidabutar, 2016). Februari 2016 sekitar
enam ton ikan yang dibudidayakan di “keramba” (keramba jaring) dibiarkan
mengambang di permukaan Danau Maninjau karena kekurangan oksigen (The Jakarta
Post, 2016), dan pada Agustus 2018, sekitar 180 ton ikan mati di Danau Toba di
Sumatera Utara (Kompas, 2018).
Dari sudut pandang yang berbeda, menggunakan
pakan buatan dalam akuakultur selalu mengandung inefisiensi. Jika kegiatan
budidaya menghasilkan efisiensi pakan 100% atau 1 kg pakan dikonversi menjadi 1
kg ikan atau udang, itu masih tidak efisien. Karena ada perbedaan dalam kadar
air, yaitu, kadar air pakan kurang dari 10%, sedangkan kadar air ikan atau
udang adalah sekitar 67%. Dengan kata lain, budidaya ikan dengan efisiensi
pakan 100% masih menghasilkan lebih banyak limbah daripada produk itu sendiri.
Akumulasi sisa makanan di saluran air akan menyebabkan perkembangan penyakit,
menurunkan kualitas air, dan juga merusak ekosistem. Akibatnya, jika tidak ada
kekhawatiran tentang sistem rantai makanan dan daya dukung lingkungan, itu akan
menyebabkan polusi dan kegiatan budidaya menjadi tidak berkelanjutan pada
akhirnya.
Konflik
Lahan
Jaminan lokasi akuakultur dalam Perencanaan
Tata Ruang menjadi fundamental karena itu berarti kepastian hukum dalam arti
fisik dan fungsional bagi pelaku bisnis akuakultur. Kepercayaan hukum terhadap
pikiran fisik menyiratkan bahwa lokasi tersebut tidak dapat digunakan untuk
kegiatan budidaya. Kepastian hukum dalam pengetahuan praktis berarti bahwa area
dalam Rencana Tata Ruang akan mampu menjalankan fungsi akuakultur dengan baik.
Jadi ada jaminan bahwa perairan yang ada tidak akan tercemar baik oleh limbah
industri, pertanian, atau rumah tangga, yang lokasinya di daerah aliran sungai
bagian atas yang mengalir di daerah tersebut. Namun, faktanya tidak sedikit
masalah yang muncul akibat konflik kepentingan dalam penggunaan ruang antara
akuakultur dan kegiatan sektor lainnya. Ini tentu juga menjadi kendala dalam
mewujudkan budidaya berkelanjutan.
Kualitas Benih
Awalnya, akuakultur tidak sulit untuk
mendapatkan kualitas induk yang bagus dan bentuk yang tahan penyakit. Namun,
seiring berjalannya waktu, berbagai penyakit/virus telah muncul dan menyebabkan
induk ikan dan udang rentan terhadap penyakit. Itu terjadi karena Pemerintah
Indonesia, dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak pernah
khawatir tentang menghasilkan ikan dan udang SPF (Specific Pathogen Free).
Sebagai ilustrasi budidaya udang, Pemerintah
Amerika dan beberapa negara Amerika Latin melakukan penelitian jangka panjang
untuk meningkatkan kualitas genetika, sehingga induk SPF Vanamae diperoleh
setelah 15 tahun penelitian. Sementara itu, di Indonesia, penelitian udang
windu SPF tidak dilakukan secara serius dan teliti meskipun telah dibahas sejak
tahun 90an. Akhirnya, sampai sekarang di Indonesia, induk udang SPF belum
diproduksi, dan perikanan udang nasional telah beralih ke udang vanamaei, yang
udang vanamei SPF sangat bergantung pada impor dari Amerika. Situasi ini tentu
tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena perikanan udang nasional menjadi
tergantung pada negara asing sehingga budidaya udang berkelanjutan juga akan
sulit untuk diwujudkan.
Baca Juga :
Solusi permasalahan budidaya perikanan di Indonesia.
Overview perikanan budidaya di Indonesia
Baca Juga :
Solusi permasalahan budidaya perikanan di Indonesia.
Overview perikanan budidaya di Indonesia
Referensi :
1. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
2. Sidabutar, 2016.
3. Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
4. The Jakarta Post, 2016
5. Kompas, 2018
follow me :
Sejong 1-Building
Daeyon 3 (sam)-Dong
Busan
Korea Selatan
Komentar
Posting Komentar