METODE IMMOBILISASI ENZIM




Pada umumnya penggunaan enzim hanya terbatas sekali pakai saja, sehingga setiap mulai pengolahan atau analisis harus menggunakan enzim baru. Untuk mengatasi kekurangan kekurangan dalam penggunaan enzim konvensional, teknologi enzim membuat enzim amobil baik untuk tujuan proses pengolahan dengan sistem batch maupun proses dengan sistem kontinyu. Enzim amobil adalah suatu enzim yang secara fisik maupun kimia tidak bebas bergerak sehingga dapat dikendalikan atau diatur kapan enzim harus kontak dengan substrat. Amobilisasi enzim adalah suatu proses di mana pergerakan molekul enzim ditahan pada tempat tertentu dalam suatu ruang reaksi kima yang dikatalisnya. Proses ini dapat dilakukan dengan cara mengikatkan molekul enzim tersebut pada suatu bahan pendukung (matriks) tertentu melalui pengikatan kimia atau menahan secara fisik dalam suatu rongga bahan pendukung. Hal ini dimungkinkan karena molekul enzim yang struktural globular (tertier maupun kuartener) mempunyai gugus hidrofilik yang mengarah keluar dari permukaan molekul enzim. Gugus fungsi inilah yang berikatan dengan gugus fungsi bahan pendukung untuk membentuk ikatan kovalen atau non kovalen. Tehnik amobilisasi enzim dapat dilakukan denga 3 cara yaitu :
1.     Cara fisik yang meliputi tehnik (penjebakan) entrapment, (encapsulation).
2.     Cara kimia yaitu meliputi tehnik pengikatan baik secara kovalen, non kovalen dan tehnik ikatan silang (crosslinking).
3.     Kombinasi cara fisik dan kimia.
Bahan pendukung yang banyak digunakan dalam amobiliasi enzim adalah kalsium alginat, kappa-karagenan, poliakrilamida, dan resin sintesis.
Reaksi enzimatik dengan enzim teramobilisasi telah terbukti sebagai teknik yang efisien dalam beberapa aplikasi industri. Sampai saat ini banyak metode amobilisasi yang telah dikembangkan. Namun demikian, teknik konvensional mempunyai kendala yang sangat mengganggu, yaitu tidak dapat mereduksi efek inhibisi. Teknik amobilisasi secara fisik menggunakan media berpori menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan teknik amobilisasi konvensional seperti: aktivitas enzim tetap tinggi (tidak terjadi konformasi enzim, media dapat diregenerasi, sesuai untuk kasus yang melibatkan substrat dan produk dengan berat molekul yang hampir sama. Penyisihan satu atau lebih jenis produk inhibitor secara sinambung merupakan keunggulan menarik lain dan teknik ini. Penelitian baru baru ini dilakukan dengan mempelajari mekanisme penjebakan enzim pada media mikroporous dan mempelajari pengaruh berbagai parameter operasi terhadap perolehan amobilisasi (%) dan densitas amobilisasi (unit aktivitas enzim per satuan volume media).
Tahapan penelitian yang telah dilaksanakan meliputi karakterisasi enzim, karakterisasi membran, studi stabilitas membran, desain modul dan amobilisasi enzim. Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui berat molekul dan aktivitas enzim. Sedangkan karakterisasi membran yang diuji adalah ukuran pori dan struktur pori. Penentuan ukuran pori dilakukan dengan Metode Bubble Point, sedangkan struktur pori diketahui menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Dalam penelitian mi digunakan enzim pemecah pati (o~-amylase dan ~3-amylase) dan membran Polietersulfon (PES). Hasil karakterisasi membran menunjukkan bahwa PES memiliki ukuran pori 0,2 ~tm dan struktur pori reverse asymmetric sehingga sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan sebagai membran mikrofiltrasi dengan permeabilitas awal membran sebesar 46,88 tim2, jam. Desain modul membran telah dilakukan dengan spesiflkasi: diameter fiber 1,7 mm; panjang efektif 20 cm; jumlah fiber setiap modul 4 buah dan luas membran 42 cm2.
Mekanisme penjebakan enzim dengan membandingkan permeabilitas air rnurni sebelum dan setelah penjebakan enzim menunjukkan bahwa penurunan fluks setelah penjebakan berkisar 78-80 % dan fluks awal. Sedangkan mekanisme penjebakan enzim dengan pengontakan larutan enzim ke permukaan membran menunjukkan bahwa adsorbsi amilase pada permukaan membran terhadap penurunan kinerja membran sekitar 8-9 %. Pengaruh tekanan terhadap amobilisasi enzim dilakukan pada tekanan 0,4; 0,8; dan 1,2 kg/cm2. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan fluks pada menit-menit awal mungkinan terjadinya ~p beban penjebakan ,ariasikan konsntrasi nobilisasi maksimum semakin tajam dengan meningkatnya TMP, semakin tinggi TMP kemungkinan terjadinya konsolidasi protein semakin besar. Pengaruh konsentrasi enzim terhadap beban penjebakan/perolehan amobilisasi dan aktivitas dilakukan dengan cara memvariasikan konsentrasi enzim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase perolehan amobilisasi maksimum dicapai pada konsentrasi enzim 1300 UAIL sebesar 85%.
Beberapa tehnik amobilisasi enzim terbaru adalah sebagai berikut :
1.                  POLIMER KITIN SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM α-AMILASE
Menurut Bailey dan Ollis (1988), amobilisasi enzim menjadi menarik jika substrat yang dibutuhkan sangat banyak atau enzim yang bersangkutan mahal. Wirawan (1988), juga menjelaskan bahwa penggunaan enzim teramobilisasi dibatasi oleh mahalnya harga bahan pendukung, oleh karena itu diperlukan bahan pendukung yang murah, tersedia dalam jumlah besar serta memiliki sifat menguntungkan.
Kitin adalah polisakarida paling melimpah kedua di alam setelah selulosa. Kitin terdapat dalam komponen srtuktural eksoskeleton dari serangga dan krustacea, juga terdapat di dalam dinding sel ragi dan jamur yang jumlahnya berkisar antara 30-60 %. Kitin dilaporkan telah dapat digunakan sebagai bahan pendukung untuk beberapa enzim, seperti papain, laktase, kimotripsin, asam pospatase, dan glukosa isomerase. Sebagai bahan pendukung enzim penggunaannya yang terbesar adalah pada industri makanan dan kosmetik (Peter,1995).
Amobilisasi enzim pada kitin dapat dilakukan dengan metode adsorpsi sederhana, dengan adsorpsi pada kitin yang diaktifkan dengan glutaraldehid, atau dengan ikatan silang dari enzim dan pendukung dengan glutaraldehid. Ikatan silang dengan glutaraldehid menyebabkan penurunan aktivitas enzim sebesar 14 – 60% (Synowiecki,1982). Metode adsorpsi fisik merupakan salah satu metode amobilisasi enzim yang sederhana dan efektif karena sedikit atau tidak menyebabkan perubahan konformasi enzim, atau destruksi pada pusat aktif enzim.
Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan amobilisasi enzim α-amilase dengan bahan pendukung polimer kitin menggunakan metode adsorpsi fisik, dan didapatkan kondisi optimum untuk enzim α-amilase bebas dan amobil, yang meliputi pH optimum, suhu optimum, dan waktu inkubasi optimum.


2.                  IMMOBILISASI ENZIM GLUCOSE OXIDASE (GOD) dan HORSE RADISH PEROXIDASE (HRP) DENGAN METODE SOL-GEL

Berbagai macam teknik immobilisasi telah digunakan, meliputi adsorpsi pada penyangga padat (Yao dkk.,2007; Wang dkk.,2009), pengikatan kovalen (Kunzelmann & Botther, 2007; Wu dkk., 1999) dan pemerangkapan dalam polimer (Fei dkk., 2003; Li dkk., 2004; Pan dkk., 2005; Hiratsuka dkk., 2008). Pada umumnya, teknik adsorpsi mudah dilakukan, tetapi ikatan enzim seringkali lemah yang menyebabkan perembesan keluar dan biokatalis seperti itu derajat kestabilannya kurang. Sebaliknya, teknik kovalen membutuhkan waktu yang sangat lama dan seringkali memerlukan beberapa tahap kimia. Immobilisasi, meskipun mencegah perembesan keluar tetapi seringkali mengarah kepada kehilangan aktivitas dan stabilitas enzim seiring dengan berjalannya waktu (Gupta dkk., 2007). Dari beberapa teknik immobilisasi yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pemerangkapan enzim harus memperhatikan aktifitas dan kestabilan enzim yang akan digunakan.
Sol-gel menawarkan cara yang lebih baik untuk mengimmobilisasi biomolekul dengan matriksnya yang berpori dan menunjukkan aktivitas fungsional biomolekul yang terselubungi (Coardin dkk.,2006: Gupta dkk.,2007). Hal ini disebabkan kondisi proses sol-gel yang sederhana dan kemungkinan untuk merancang sesuai kebutuhan. Fleksibilitas sol-gel mengijinkan membentuk sensor sebagai monolith dan lapisan tipis yang dapat dipasangkan dengan serat optik atau dideposisikan pada elektroda, maupun sebagai nanopartikel.
Pengembangan teknik sol-gel terutama berbasis pada silikon alkoksida Si(OR)n, dimana R adalah gugus organik (-CH3, -C2H5, ...) (Hench, 1998). Dengan kehadiran air, terjadi hidrolisis gugus Si-OR yang menciptakan gugus silanol Si-OH dan melepaskan molekul alkohol ROH terkait. Kemudian terjadi kondensasi antara gugus silanol yang membentuk ikatan Si-O-Si. Reaksi kondensasi yang mengikuti proses polimerisasi anorganik menghasilkan pembentukan nanopartikel SiO2. Setelah sol menjadi gel, enzim terperangkap dalam jaringan polimetrik gel berpori. Molekul enzim terperangkap dalam jaringan kovalen daripada terikat secara kimia pada matriks silika gel sehingga aktivitas fungsional biomolekul masih tetap tinggi (Coradin dkk., 2006).
Pada umumnya biosensor glukosa berbasis sol-gel melibatkan pemerangkapan serempak enzim glucose oxidase (GOD) dan horse radish peroxsidase (HRP) dalam silica gel berbasis tetramethyl orthosilicate (TMOS) dan tetraethyl orthosilicate (TEOS) (Singh dkk., 2007: Liang dkk., 2008). TEOS dan TMOS merupakan precursor yang efektif untuk pembentukan sol-gel dan berbagai macam biosensor berbasis sol-gel yang berdasarkan pada prinsip transduksi yang berbeda yang membentang dari elektrokimia (amperometric dan coulorometric), optic, piezo-electric, dan thermal, telah dikembangkan (Mehrvar & Abdi, 2004). Transducer merupakan alat yang penting untuk mengkonversi perubahan yang terjadi karena reaksi redoks. Sensor optik memantau reaksi melalui reaksi H2O2/HRP dye organic yang dimasukkan dalam supernatant gel. Sensor thermal memantau reaksi enzimatik berdasarkan pada perubahan entalpi dari sistem reaksi (Ramanathan dkk., 2001). Teknik yang paling populer adalah dengan teknik elektrokimia. Keunggulan utama teknik elektrokimia untuk pemantauan glukosa darah adalah bahwa bagian aktif biosensor dimana darah tidak perlu berkontak langsung dengan alat ukurnya sendiri. Hal ini mengurangi kebutuhan untuk membersihkan alat dan mengurangi peluang untuk kontaminasi dengan spesimen darah yang mungkin terinfeksi oleh penyakit lain.
Akan tetapi, biosensor berbasis sol-gel ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu langkah pembentukkan sol gel melibatkan pH yang ekstrim dan konsentrasi alkohol yang tinggi yang dapat merusak stabilitas enzim dan struktur lapisan sol-gel silika yang porous cenderung menyebabkan enzim merembes keluar sehingga stabilitas sensor menjadi jelek (Coradin dkk., 2007; Gupta & Chaudury, 2007). Hal ini mendorong perlunya mengembangkan suatu teknik dimana kedua kendala tersebut dapat diatasi.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik immobilisasi enzim GOD/HRP ke dalam silika gel dengan teknik sol-gel untuk aplikasi biosensor glukosa dengan mempelajari pengaruh kondisi operasi pembuatan sol-gel yaitu konsentrasi silika dalam sol terhadap diameter pori lapisan sol gel silika serta mempelajari pengaruh diameter pori, suhu, dan pH terhadap aktivitas dan stabilitas enzim yang diimmobilisasi. Metode sol gel yang menawarkan fleksibilitas yang tinggi untuk membentuk sensor, sederhana, dan murah diharapkan mampu menyediakan biosensor yang terjangkau masyarakat luas. Hal ini jelas merupakan upaya yang sangat berharga untuk menyelesaikan isu nasional tentang mahalnya alat kesehatan.
3.                  ISOLASI DAN AMOBILISASI SEL/ENZIM BETA GALAKTOSIDASE
Penggunaan enzim dalam yang telah diisolasi sebagai molekul bebas, yakni terlarut dalam air, dalam analisis kurang menguntungkan, karena enzim hanya dapat digunakan untuk satu kali reaksi dan enzim tersebut sulit dipisahkan dari produk dan substrat. Agar enzim tersebut dapat dipakai berulang dan dapat dipisahkan maka dapat digunakan suatu metode yaitu teknik imobilisasi enzim.
Imobilisasi enzim dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari bentuk larut dalam air “bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak larut Imobilisasi dmencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat/cair yang sederhana. Imobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan pendukung, pengikatan silang intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara menjebak enzim di dalam gel atau membran polimer (Palmer, 1991).
Beberapa keuntungan penggunaan enzim amobil daripada enzim bebas antara lain meningkatkan stabilitas enzim, mengurangi jumlah enzim yang digunakan, mempermudah untuk pemisahan dan enzim untuk digunakan kembali, kemudahan untuk penggunaan selanjutnya, mempermudah untuk memisahkan hasil, dan pada beberapa kasus dapat meningkatkan aktivitas enzim (Nam Sung Wang, Jurnal “Enzyme Immobilization By Gel Entrapment”).
Teknik imobilisasi yang paling baik untuk dipilih adalah yang memenuhi kriteria utama yakni tidak terjadi perubahan konformasi enzim dan tidak mengganggu gugus fungsi di pusat aktif enzim sehingga enzim tetap dapat berfungsi. Metode penjebakan enzim lebih banyak digunakan karena enzim ada dalam keadaan bebas dan tidak terikat pada bahan pendukung sehinga secara relatif fungsi katalitik dan struktur alami molekul enzim tidak mengalami gangguan goncangan (Kierstan & Coughlan 1985, Wirahadikusumah 1988).
Escherichia coli digunakan sebagai strain untuk percobaan karena memiliki sekitar 2000 jenis enzim dan beberapa strain yang telah dilaporkan mampu menghasilkan enzim galaktosidase yang akan mengkatalisis hidrolisis ikatan ?-galaktosida. Selain itu, E.coli mudah untuk diperoleh, dikembangbiakkan dan mudah ditangani. Sebab pada suhu kamar E.coli dapat ditumbuhkan, dan canderung resisten terhadap beberapa bakteri patogen.
Uji aktivitas dilakukan dengan menggunakan ONPG sebagai sustrat. Pada keadaan alkalis, hasil penguraian ONPG oleh enzim galaktosidase akan membentuk warna sehingga dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm.
Bakteri Escherichia coli menghasilkan berbagai macam enzim salah satunya yaitu galaktosidase. galaktosidase merupakan substrat chromogenic artifisial. Suhu dan pH optimum galaktosidase yaitu 42°C dan 5,8. Dalam percobaan galaktosidase diperoleh dari kultur sel E.coli pada media fermentasi. Jumlah sel yang perlu ditambahkan ke dalam media fermentasi ditentukan berdasarkan nilai Optical Dencity (OD) pada 620nm. Dari percobaan diperoleh hasil sebesar 2,7608mL untuk jumlah OD yang ditambahkan, tetapi dalam perlakuannya ditambahkan 5,6mL inokulum bakteri agar diperoleh pasta sel yang lebih banyak. Pasta sel total yang diperoleh yaitu sebesar 0.85 g dan jumlah pasta gabungan dari keempat kelompok sebesar1.0897 g.
Pembentukan gel dipercepat dengan mereaksikan kaliun persulfat dan TEMED ke dalam campuran. Pasta sel yang diambil untuk pembuatan sel amobil seberat 0,2800g. Campuran dicetak dalam gelas piala kecil dan disimpan pada suhu 5°C karena panas yang tinggi dapat menyebabkan enzim terdenaturasi sehingga menyebabkan inaktivasi enzim dan menghambat proses isolasi enzim. Metode penjebakan enzim dalam gel sangat lunak dan tidak ada modifikasi kimia atas enzim sehingga tidak akan merusak aktivitas enzim. Enzim yang terjebak dalam volume gel tersebut tetap berada dalam bentuk aslinya tanpa resiko adanya penutupan bagian aktif, gugus atau molekul enzim oleh ikatan kimia.
Penerapan teknik amobilisasi sel untuk menghidrolisis ikatan tersebut memberikan beberapa keuntungan antara lain, diperoleh stabilitas enzim yang lebih tinggi, enzim dapat digunakan berulang kali, tidak diperlukan isolasi dan pemurnian enzim, proses kontinu dapat dikerjakan lebih sederhana dan praktis, serta pengendalian reaksi enzimatis dapat diatur lebih baik
Pada percobaan kedua jenis enzim ?- galaktosidase sel amobil dan bebas mendapatkan perlakuan yang sama yaitu enzim diukur dalam kondisi yang sama yaitu pada suhu ruang (37 °C) dan pada pH 7,7 yang merupakan pH optimum dari buffer fosfat. Kondisi ini bukan merupakan kondisi optimum dari ?- galaktosidase, suhu dan pH optimum galaktosidase yaitu 42°C dan 5,8. Pengujian aktivitas ?- galaktosidase menggunakan substrat ONPG 2,5mM. Dalam keadaan alkalis ?- galaktosidase menguraikan ONPG menjadi senyawa berwarna kuning yaitu nitrofenol. Penghentian reaksi dilakukan dengan cara menambahkan Na2CO3. Pengukuran dilakukan dengan metode spektrofotometri pada 420nm. Dari perobaan ini diharapkan akan memberikan hasil yang tepat pada jumlah sampel yang banyak pengukuran aktivitas assay enzim berdasarkan pada perubahan intensitas cahaya yang diabsorbsi oleh larutan yang telah ditambah reagen. Intensitas warna kuning setara dengan banyaknya aktivitas enzim tersebut.
Untuk dapat menentukan konsentrasi nitrofenol hasil degradasi ONPG oleh enzim, diperlukan satu kurva standar nitrofenol. Dari hasil percobaan didapatkan persamaan kurva standar yaitu Y= 6,3423X + 0,3837 dengan R2 sebesar 87,13%. Berdasarkan kurva persamaan diatas maka dapat ditentukan konsentrasi konsentrasi produk nitrofenol dan aktivitas spesifik enzim baik yang amobil maupun yang bebas. Terlihat bahwa imobilisasi ada enzim mengakibatkan penurunan konsentrasi produk dan aktivitas spesifik enzim tersebut berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel.
4.                  PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE

Udang sebagai salah satu komoditas andalan sektor perikanan, setiap tahunnya mengalami peningkatan produksi. Proses pembekuan udang untuk ekspor, menghasilkan limbah sekitar 60- 70%. Limbah cangkang udang tersebut dapat diolah menjadi kitosan. Kitosan dijadikan sebagai alternatif pilihan pengganti matriks penyangga pada imobilisasi enzim karena kitosan memilik beberapa keunggulan dibandingkan matriks sintetik lainnya. Keunggulan kitosan yaitu, bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan, manik-manik berpori, gel, fiber, membran), biodegradasi, murah, mudah penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein dan non toksik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan dan mengetahui kemampuan kitosan sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim protease. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan berupa pembuatan kitosan dan mengukur mutu kitosan yang dihasilkan, meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, viskositas dan derajat deasetilasi. Penelitian utama yaitu imobilisasi enzim protease menggunakan metode Stanley et al. (1975) dengan berbagai perlakuan kitosan (0 g; 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g; 0,6 g; 0,7 g; 0,8 g; 0,9 g dan 1 g) dan dilanjutkan dengan uji kualitatif untuk mengukur aktivitas enzim dan aktivitas spesifik enzim imobil.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Kitosan yang dihasilkan pada penelitian telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh PROTAN Jepang. Parameter mutu kitosan meliputi, kadar abu sebesar 0%, kadar air 7%, kadar nitrogen 4,93%, derajat deasetilasi 95,3% dan viskositas sebesar 39,5%. Hasil analisis data terhadap aktivitas enzim papain imobil, diperoleh ada satu perlakuan kitosan yang memberi pengaruh berbeda nyata terhadap aktivitas enzim imobil yaitu perlakuan 1 g kitosan sedangkan pada enzim bromelin imobil tidak ada perlakuan kitosan yang memberikan pengaruh berbeda nyata. Aktivitas enzim papain imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,6 g kitosan yaitu sebesar 0,0113 U/ml/menit dan aktivitas tertinggi sebesar 0,0190 U/ml/menit pada perlakuan 1 g kitosan.
Aktivitas enzim bromelin imobil tertinggi juga diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan yaitu 0,0108 U/ml/menit, sedangkan aktivitas terkecilnya diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0011 U/ml/menit. Aktivitas spesifik enzim papain imobil tertinggi yaitu sebesar 0,1432 U/mg protein enzim diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan, sedangkan aktivitas spesifik enzim terendah diperoleh pada perlakuan 0,7 g kitosan dengan aktivitas spesifik 0,0940 U/mg protein enzim. Aktivitas spesifik enzim bromelin imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan dengan aktivitas 0,0036 U/mg protein enzim, sedangkan aktivitas spesifik enzim imobil tertinggi yang dihasilkan sebesar 0,0733 U/mg protein enzim diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan.

Baca Juga :
Tehnik Blast

Daftar Pustaka

Hendri, Jhon. Dkk. 2008. POLIMER KITIN SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM α-AMILASE.  Tersedia online pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15925/1/sti-nov2005-%20(5).pdf. Tanggal 17 November 2010.
Mardinah, elida. 2008. PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Tersdian online pada http://eprints.undip.ac.id/22254/1/B-02.pdf. online tanggal 17 November 2010.
Setiawan, Heru. 2010. IMMOBILISASI ENZIM GLUCOSE OXIDASE (GOD) dan HORSE RADISH PEROXIDASE (HRP) DENGAN METODE SOL-GEL. Tersedia online pada http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/26973237.pdf . pada tanggal 17 November 2010.
Simatupang, Ratna. 2008. ISOLASI DAN AMOBILISASI SEL/ENZIM BETA GALAKTOSIDASE. Tersedia online pada http://unand.org/jrk/wp-content/uploads/2010/04/6.pdf. Tanggl 17 November 2010.



Komentar