Pertanian Di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, hal ini disebabkan sebagian besar penduduknya adalah petani. Hasil pertanian Indonesia merupakan salah satu komoditas ekspor, bahkan telah mencapai level internasional. Pada awal kemerdekaan, Indonesia pernah mendapat penghargaan oleh FAO sebagai negara swasembada pangan, bahkan pernah memberikan sumbangan padi kepada beberapa negara tetangga. Semua hal tersebut tidak lepas dari peranan para petani yang giat dalam berusaha dan tetntu saja bantuan pemerintah baik berupa modal usaha, bantuan alat-alat, sampai pada bantuan pupuk dan pestisida. Bahkan, Indonesia memiliki lembaga yang khusus mengembangkan tentang varieties-varietes baru pertanian, seperti misalnya LIPI, BATAN, dan bahkan dalam struktur pemerintahannya, Indonesia memiliki departemen pertanian yang dipimpin oleh seorang menteri pertanian.
Ketika masa orde baru, kita mengenal istilah Panca Usaha Tani, yaitu usaha meningkaktkan produksi pertanian secara ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Hal ini mulai dikembangkan karena semakin pesatnya laju pertambahan jumlah penduduk dan semakin meningkatnya laju pembangunan nasional. Pertumbuhan ini menyebabkan meningkatnya pertumbuhan sarana dan prasarana publik baik berupa pertumbuhan jumlah bangunan perumahan, perkantoran, jalan raya, bangunan pabrik, sekolah, dan bangunan-bangunan lainnya. Pembangunan ini mulai menggeser keberadaan lahan-lahan pertanian produktif yang pada akhirnya akan membawa perubahan pola fikir masyarakat, terutama petani dalam meningkatkan hasil pertanian mereka. Pola pertanian dengan metode nomaden dengan membuka hutan mulai ditinggalkan, sebab lahan yang bisa digunakan sebagal lahan pertanian telah mulai menyusut. Petani kemudian mulai mencari solusi untuk bisa meningkatkan hasil produksi mereka dengan lahan yang terbatas, namun masalah baru mulai muncul, yaitu munculnya hama-hama pertanian.
Hama memang telah lama menjadi momok para petani padi, acap kali serangan hama dapat menghancurkan harapan petani, berhektar-hektar sawah mereka bisa gagal panen karena serangan hama. Beberapa laporan serangan hama seperti wereng misalnya, yang terjadi di deli serdang, Petani Deli Serdang, Sumatera Utara, meresahkan populasi hama yang kian membesar. Keberadaannya di batang padi dikhawatirkan akan merusak pertumbuhan padi. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menetapkan keadaan peringatan bahaya atas kondisi tersebut.
Pada awalnya, para petani menggunakan tehnik tradisonal dalam meningkatkan hasil pertanian mereka, baik dengan memberikan pupuk alami seperti kotoran hewan, bangkai binatang dan lain sebagainya, atau dengan menggunakan kucing sebagai pemburu tikus disawah, atau menangkap secara manual hama-hama petanian tersebut, seperti hama wereng, walang sangit, belalang, dan berabagai hama pertanian lannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia kemudian berusaha untuk membuat sesuatu yang lebih praktis dan tentunya dengan asumsi keperaktisan tersebut akan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih. Pola pemikiran tersebut kemudian membawa manusia untuk menemukan berbagai macam pupuk-pupuk kimia seperti misalnya, Pupuk Pusri, Pupuk Kaltim, Pupuk Sriwijaya, obat-oabatan kimia (pestisida) seperti Reagen, Polinom, dan berbagai merek dagang lainya.
Serangan hama (wereng, walang sangit, tikus, belalang) dalam jumlah yang sangat besar telah banyak merugikan para petani. Ini kemudian menyebabkan petani mulai melirik beberapa jenis pestisida dan pupuk kimia, akibatnya banyak dari para petani yang menggunakan pembasmi hama buatan yang diproduksi oleh pabrik yang didapatkan di pertokoan seperti beberapa merek dagang diatas. Pada akhirnya pola-pola pertanian sederhana seperti pemupukan dengan kompos, pemusnahan hama dengan mengguanakan predator alami mulai tergeser dengan diperkenalkannya obat-oabatan dan pupuk-pupuk kimia tersebut. Secara sepintas, tehnik baru tersebut menghasilkan hasil yang begitu memuaskan dengan berhasil meningkatkan hasil pertanian hampir 2 kali lipat dari tehnik tradisional, dan mampu membunuh hama dengan cepat, tepat dan tentunya singkat. Keberhasilan ini tentunya membawa dampak positif bagi dunia pertanian terutama di Indonesia.
Kondisi tersebut kemudian berubah seketika diera millennium ketiga ini. Keefektifan pembasmi hama yang awalnya cukup bagus, lama kelamaan tidak mempan membunuh beberapa jenis hama. Hal ini terjadi karena hama mulai resisten, petani kemudian mencari solusi dengan menaikkan dosis pestisida yang digunakan, Akibat penambahan konsentrasi dan penggunaan yang terus menerus, menjadikan insektisida ini sebagai masalah baru. Sisa-sisa insektisida yang mengendap di daun, kulit buah dan tanah telah menjadi pencemar baru yang mencemari lahan pertanian, akibatnya bukan cuma hamanya saja yang mati, tetapi hewan-hewan lainnya termasuk manusia yang mengkonsumsi hasil pertanian tersebut, kesehatannya menjadi terganggu. Alih-alih menambah hasil produksi, yang terjadi adalah kemunduran mutu produk yang dihasilkan pasalnya produk-produk tersebut telah terkontaminasi oleh insektisida.
Permasalahan ini membawa para petani dalam dilema yang besar, disatu sisi mereka harus melawan serangan hama yang mengancam sawah-sawah mereka, sedangkan di sisi lain lingkungan mereka juga harus diselamatkan dari pengaruh buruk lingkungan.
Masalah diatas disebabkan karena beberapa insektisida dan pupuk yang dahulunya dapat meningkatkan hasil pertanian dan menuntaskan masalah hama dengan tutas, cepat, dan tepat mulai mengalami kendala, ini terjadi karena hama dan musuh-musuh alami tanaman pertanian mengalami evolusi yang menyebabkan mereka kemudian resisten terhadap beberapa jenis pestisida buatan. Manusia kemudian mencoba mencari solusi namun, hama tersebut telah kebal dengan obat-oabatan kimia sehingga pada beberapa jenis hama, pengguanan pestisida sama sekali tidak mempan.
Bukan hanya membuat hama-hama pertanian menjadi kebal, namun, penggunaan pestisida menghasilkan beberapa masalah lingkungan yang cukup hebat. Seperti kejadian Silent Spring yang pernah terjadi di Jerman. Dimana semua burung yang biasanya berkicau pada musim semi mati. Ini menimbulkan pertanyaan, kenapa burung yang mati, padahal sasaran dari pestisida adalah hama pertanian, bukan burung-burung. Setelah melalui analisis, kemudian diperoleh bahwa hal tersebut terjadi akibat semua makanan burung-burung tersebut (dalam hal ini serangga pertanian) mati, akibatnya burung-burung dalam ekosistem tersebut mati, ini yang kemudian menyebabkan musim semi didaerah tersebut menjadi sepi.
Analisis diatas merupakan analisis ekologi, yang menyebabkan putusnya jaring-jaring makanan dari suatu komonitas. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terkontaminasinya produk hasil pertanian oleh beberapa jenis pestisida. Ini sangat menghawatirkan sebab bila hasil pertanian tersebut dikonsumsi oleh organisme tertentu, terutama manusia akan menimbulkan berbagai macam penyakit, diantaranya penyakit kanker, iritasi kulit, dan berbagai macam jenis penyakit lainnya.

Komentar